Latest Article Get our latest posts by subscribing this site

PELAKU MAKSIAT TIDAK KEKAL DI NERAKA



Oleh : Syaikh Abdulaziz bin Baz - rohimahulloh -

Pertanyaan:

Alloh ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ


“Sesungguhnya Alloh tidak mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa yang di bawahnya, bagi siapa yang Dia kehendaki.”
Dia juga berfirman,

وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى


“Dan sungguh Aku benar-benar Maha pengampun terhadap orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih, kemudian dia menerima petunjuk.”
Apakah ada kontradiksi antara kedua ayat ini? Lalu apa yang dimaksud dengan “dosa yang di bawahnya, bagi sapa yang Dia kehendaki?”
Dari A-A-Z, di Jedah


Jawaban:
Antara kedua ayat ini tidak ada kontradiksi. Ayat pertama adalah tentang orang yang meninggal di atas kesyirikan dan belum bertaubat. Maka dia tidak akan diampuni dan tempat kembalinya adalah neraka, sebagaimana Alloh - subhanahu - berfirman,



إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ


“Sesungguhnya barangsiapa menyekutukan (sesuatu) kepada Alloh, maka Alloh mengharamkan surga baginya, dan tempat kembalinya adalah neraka. Dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang yang zholim.” [al-Maidah: 72]
Dia – ‘azza wa jalla – juga berfirman,

وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ


“Dan seandainya mereka berbuat syirik, niscaya gugurlah dari mereka apa yang dahulu mereka amalkan.” [al-An'am: 88]
Dan banyak ayat-ayat yang semakna dengan ini.

Adapun ayat kedua, yaitu firman-Nya,


وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى


“Dan sungguh Aku benar-benar Maha pengampun terhadap orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih, kemudian dia menerima petunjuk.”
Maka ayat ini tentang orang-orang yang bertaubat. Demikian pula firman-Nya – subhanahu,


قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ


“Katakanlah, wahai hamba-hambaKu yang melampaui batas atas diri-diri mereka, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Alloh, sesungguhnya Alloh mengampuni semua dosa. Sesungguhnya Dia Mahapengampun dan Mahapenyayang.” [az-Zumar: 53]

Para ulama telah sepakat, bahwa ayat ini tentang orang-orang yang bertaubat.

Adapun firman Alloh – subhanahu -,


وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ


“dan Dia mengampuni dosa yang di bawahnya, bagi sapa yang Dia kehendaki?”
Maka ayat ini tentang orang yang meninggal dunia membawa dosa yang (tingkatannya) di bawah kesyrikan, yang berupa kemaksiatan-kemaksiatan, sedangkan dia belum bertaubat. Maka urusan orang ini kembali kepada Alloh; jika Dia berkehendak, Dia akan mengampuninya, dan jika Dia berkehendak lain, Dia akan menyiksanya. Namun jika Dia menyiksanya, dia tidak akan kekal di dalam neraka seperti kekalnya orang-orang kafir, sebagaimana pendapat Khowarij, Mu’tazilah dan siapa saja yang menempuh jalan mereka (yakni berpendapat kekalnya pelaku maksiat -pent). Bahkan, orang itu pasti akan keluar dari neraka setelah dilakukan penyucian dan pembersihan, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits-hadits mutawatir dari Rasululloh – shollallohu ‘alaihi wa sallam– dan telah disepakati oleh salaful ummah.
Wallohu waliyyut taufiiq.


Diterbitkan pada majalah ad-Da’wah no. 1290 tertanggal 25/10/1411 H — (juga disebutkan dalam) Majmu’ Fatawa wa Maqolat Mutanawwi’ah, Vol. 6

BAHAYA HISBIYAH ( FANATIK KELOMPOK )

Oleh
Muhammad Al-Abadah

Tidak ada satupun yang lebih berbahaya bagi da'wah Islamiyah dewasa ini ketimbang Fanatisme Hizbiyyah (Fanatik Golongan). Ia merupakan penyakit berbahaya yang bakal mencerai beraikan ukhuwah Islamiyah. Ia pasti akan memutuskan ikatan-ikatan kuat tali ukhuwah, dan akhirnya akan mengotori kesuciannya.

Adakah dibenarkan seorang muslim menunjukan wajah ceria, senyum lebar dan salam hangatnya hanya kepada orang satu kelompok atau satu jama'ah saja ..? Sementara kepada orang dari kelompok lain ia bermuka masam, bersikap dingin dan hambar ..? Adakah dibenarkan seorang muslim mengabaikan kesalahan-kesalahan yang dilakukan shahabat kelompoknya, sementara apabila orang lain melakukan kesalahan yang sama, ia rajin menggunjingkan dan menyebarluaskannya..?
Apabila seorang di antara anggota kelompok (hizbiyyah) ini anda beri peringatan karena fikrah atau tashawwur (orientasi berfikir)nya menyimpang (munharif), maka ia akan segera memberikan pembelaan-pembelaan dengan dalih : "Ini hanyalah kekeliruan, tetapi tidak merusak prinsip".

Disebabkan fanatisme hizbiyyah inilah maka anda lihat, seseorang tidak akan mau melakukan tela'ah, belajar atau menimba ilmu, melainkan hanya dari satu arah saja, yaitu hanya dari buku-buku, tulisan orang sekelompoknya dan dari orang-orang tertentu yang telah diwasiatkan tidak boleh belajar melainkan hanya kepada mereka.

Dari situlah lahir cakrawala berpikir sempit, dan manusia-manusia yang berkepribadian keji. Ia tidak melihat melainkan hanya dari satu sudut pandang,dan tidak tahu menahu (persoalan) melainkan hanya pemikiran itu satu-satunya.

Namun, mengapa hizbiyyah semacam ini bisa menyusup ke dalam shaf (barisan) da'wah ..? Siapakah pula pendukungnya sehingga ia tetap berlangsung..?

Sesungguhnya telah jelas bahwa hizbiyyah adalah suatu pola dari sebuah tarbiyah buruk yang dilakukan guna menangani penggarapan diri seorang manusia, kemudian dikatakannyalah padanya (bahwa) :"Kamilah kelompok paling afdhal, sedangkan selain kami, masing-masing mempunyai kekurangan itu ....". Semua itu karena setiap kelompok hizbiyyah ingin menghimpun dan memperbanyak jumlah anggota.

Sebagai konsekwensinya, maka mereka harus menjatuhkan nama kelompok lain supaya orang jangan sampai masuk menjadi kelompok lain tersebut. Seakan-akan kita ini menjadi kelompok-kelompok kontetstan dari beberapa partai yang bersaing guna merebut kemenangan dalam suatu pemilihan umum. Sampai-sampai terkadang perlu membeli suara massa dengan klaim-klaim memikat dan dengan harta benda.

Dari tarbiyah seperti inilah, akhirnya seseorang harus sudah terpisah dari majlis-majlis para ulama atau orang-orang berilmu semenjak pertama ia menerjuni dunia da'wah atau ketika untuk pertama kalinya ia ingin mencari ilmu, sehingga ia tidak bisa mengenyam tarbiyah para ulama yang mentarbiyah dengan adab, akhlaq dan pengalaman mereka.

Kalau demikian keadaannya, maka niscaya dia bakal menyerap (ilmu) dari orang-orang yang aktif menjalankan amaliyah tarbiyah. Jika kebetulan orang itu memiliki ilmu dan tidak mempunyai ambisi kepemimpinan, bisa jadi tarbiyahnya mendekati benar. Tetapi seandainya orang-orang itu (ternyata) menyukai kedudukan atau dalam dirinya terdapat unsur penipuan ilmu, maka tentu, dari tarbiyah ini akan terlahir pemuda-pemuda buruk yang fanatik terhadap kelompok.

Tidak ada seorang pun yang bisa selamat dari penyakit ini, kecuali orang yang selalu mengambil perhatian sejak awal, dan mengerti bahwa ada beberapa bentuk tarbiyah yang secara pasti akan menunjukkan hizbiyah. Untuk itu dia akan merasa takut dan berusaha membentengi diri. Dia akan selalu mawas diri, selalu melihat ke belakang, selalu memperbaharui langkah-langkahnya dan selalu melakukan pembaharuan setiap saat, sehingga dirinya tidak terjatuh ke dalam cengkeraman penyakit berbahaya yang keburukan serta malapetakanya merajalela ini.


[Diterjemahkan secara bebas dari majalah Al-Bayan, No. 59 Rajab 1413H, Januari 1993M. hal. 46-47 , Dimuat di Majalah As-sunnah tanpa edisi, hal 43 dan 48, penerjemah Team Redaksi Majalah Assunnah]

Indahnya Persatuan dan Buruknya Perpecahan

Pernahkah Anda Menapaki Jalan Berduri?


Oleh: Abdullah (Mahasiswa Ma’had Ali Al-Imam Asy-Syafii Jember)
 
Judul di atas adalah jawaban yang diberikan oleh Ka’ab Al-Ahbar kepada Umar Bin Khotob ketika beliau bertanya tentang makna takwa kepada Ka’ab. Kemudian Ka’ab berkata, “apa yang anda lakukan?” Umar pun menjawab, “Aku berhati-hati dan berusaha agar tidak tertusuk”. “itulah takwa!” jawab Ka’ab.
Karena itu Ibnul Mu’taz berkata:
Tinggalkanlah segala dosa, meski yang kecil maupun yang besar, karena itulah hakikat ketakwaan berlakulah seperti pejalan kaki di atas jalan berduri dia menghindari setiap duri yang dilihatnya jangan sekali-kali meremehkan dosa kecil, sebab sesungguhnya gunung yang besar juga terangkai dari batu-batu kerikil sesungguhnya seorang muslim dituntut untuk memohon kepada Allah Ta’ala agar dianugerahi ketakwaan. Sesungguhnya do’a seperti ini menjadi bagian do’a Nabi, padahal beliau adalah manusia yang paling takut dan bertakwa kepada Allah. Beliau berdo’a, “Ya Allah, sesungguhnya akau memohon hidayah, ketakwaan, kesucian dan sifat cukup kepada-Mu” (HR. Muslim)
.

Ketakwaan merupakan pakaian terbaik yang telah Allah perintahkan kepada kita untuk kita kenakan, serta bekal terbaik yang Dia perintahkan untuk kita jadikan bekal, selain takwa tidak ada yang pantas untuk dijadikan bekal dalam pengembaraan kita menuju negeri akherat yang penuh dengan kenikmatan. Kenikmatan abadi yang tidak pernah terputus, kekal abadi selama-lamanya. Dan dunia pastilah berkesudahan. Ketakwaan juga merupakan hak Allah Ta’ala atas segenap hamba-Nya. Yaitu, agar mereka bertakwa kepada-Nya denga sebenar-benar takwa. Dan ketakwaan merupakan wasiat-Nya bagi generasi awal hingga akhir. Allah Ta’ala berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kalian dan juga kepada kalian agar bertakwalah kepada Allah” (Annisa:131)

Wasiat Takwa
Secara garis besar takwa merupakan wasiat Allah kepada semua makhluk-Nya dan juga wasiat Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya. Adalah Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila mengutus seorang pemimpin dalam peperangan, beliau mewasiatkan kepadanya agar bertakwa kepada Allah bersama kaum muslimin (HR.Muslim:1731)
Ketika Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam khutbah pada haji wada’, beliau mewasiatkan kepada manusia agar bertakwa kepada Allah Ta’ala dan patuh serta taat kepada pemimipin kaum muslimin (HR.Muslim: 1297, 1838)
Para salafusholih juga senantiasa saling mewasiatkan kepada ketakwaan. Adalah Abu Bakar Shidiq radiyallahu’anhu berkata di dalam khutbahnya berkata, “ ‘amma ba’du, aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah Ta’ala, senantiasa memuji kepada-Nya karena Dialah yang berhak dipuji, gabungkanlah rasa harap dan takut, dan memohonlah kepada Allah dengan dengan sebenar-benarnya, karena Allah Subhanahu Wata’ala memuji Zakaria dan ahli baitnya. Allah Ta’ala berfirman, “Sungguh mereka selalu bersegera dalam mengerjakan kebaikan, dan mereka berdo’a kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka orang-orang yang khusyu’ kepada Kami” (Al-Anbiya : 90)

Seorang laki-laki berkata kepada Yunus bin ‘ubaid, ‘berilah aku wasiat!’, maka beliau berkata kepadanya, ‘aku wasiatkan kepadamu agar bertakwa kepada Allah dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah bersama orang-orang bertakwa dan yang berbuat kebaikan.
Dan dikatakan kepada seorang tabi’in menjelang wafatnya, ‘berilah kami wasiat’, kemudian beliau berkata, “Aku wasiatkan kalian dengan penutup surat an-nahl : ‘Sesungguhnya Allah bersama orang-orang bertakwa dan yang berbuat kebaikan’ (An-Nahl ;128)

Bertakwalah Wahai Hamba Allah
Menurut bahasa takwa berarti menjaga diri atau berhati-hati. Adapun menurut istilah syar’I, para ulama telah memberikan beragam definisi tentang takwa. Secara umum, semuanya berkisar pada satu makna, yaitu melaksanakan perintah dan menjauhi segala hal yang dilarang.
Thalq bin Habib berkata, “Takwa artinya Anda melaksanakan ketaatan kepada Allah berdasarkan cahaya (ilmu dan iman) dari Allah karena mengharap pahala dari-Nya, dan engkau meninggalkan segala bentuk kemaksiatan kepada-Nya berdasarkan cahaya dari-Nya, karena takut terhadap siksa-Nya”
Ali bin Abi Tholib berkata, “Takwa adalah takut kepada Allah Ta’ala Yang Maha Perkasa, mengamalkan kandungan Al-Qur’an, merasa cukup dengan yang sedikit dan mengambil bekal untuk perjalanan menuju akherat”

Rukun Ketakwaan
1)        Ikhlas
2)        Ittiba’ (Mengikuti Petunjuk Rosul)
Allah Ta’ala berfirman, “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qobil) menurut apa yang sebenarnya. Ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil), dan tidak deterima dari yang lain (Qobil). Ia (Qobil) berkata, ‘Aku pasti membunuhmu!’ berkata Habil, ‘sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa’.”(Al-Maidah : 27)
Banyak orang berbeda pendapat tentang firman Allah : “Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang bertakwa”
- golongan khowarij dan mu’tazilah berpendapat bahwa kebaikan tidak akan diterima kecuali dari orang yang bertakwa secara mutlak, yaitu orang yang tidak melakukan dosa besar.
- golongan murji’ah berpendapat bahwa kebaikan hanya diterima dari orang yang menjaga dirinya dari kesyirikan. Mereka berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar termasuk kategori orang-orang yang bertakwa.
- sedangkan menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, kebaikan diterima dari orang yang bertakwa di dalam amal tersebut, yaitu  sebuah amal yang tulus karena Allah Ta’ala dan sesuai dengan perintah-Nya (mencontoh Rosul). Maka siapa saja yang bertakwa di dalam amalnya, amal tesebut akan diterima walaupun dia melakukan kemaksiatan dalam hal lainnya. Dan siapa yang tidak bertakwa dalam amal tersebut, maka amal tersebut tidak akan diterma, walaupun dia taat dalam hal lainnya.
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata tentang firman Allah Ta’ala, “Yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya”. Bahwa amal yang terbaik adalah amal yang paling ikhlas dan benar. Kemudian orang-orang bertanya kepada beliau, “wahai Abu Ali, apa yang dimaksud dengan amal yang paling ikhlas dan benar?”. Beliau menjawab, “Sesungguhnya sebuah amal jika ikhlas tetapi tidak benar, maka amal tersebut tidak akan diterima, dan jika amal tersebut benar tetapi tidak ikhlas, maka tidak akan diterima pula. Amal tersebut akan diterima jika benar dan ikhlas. Ikhlas artinya hanya untuk Allah Ta’ala, sedangkan benar artinya sesuai dengan sunnah Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Sebagaimana kita semua diperintahkan agar hanya takut kepada Allah Ta’ala, bertawakal hanya kepada-Nya, berharap hanya kepada-Nya, memohon pertolongan hanya kepada-Nya dan beribadah hanya kepada-Nya, kita juga diperintahkan agar mengikuti Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mentaatinya dan menjadikannya suri tauladan. Yang halal adalah sesuatu yang dihalalkan olehnya, yang haram adalah sesutau yang diharamkan olehnya dan ajaran agama adalah segala Sesuatu yang ditetapkannya. Allah Ta’ala berfirman, “Dan sekiranya mereka mau puas dengan apa yang diberikan kepada mereka oleh Allah dan Rosul-Nya, dan berkata, “cukuplah Allah bagi kami, Allah dan Rosul-Nya akan memberikan kepada kami sebagian karunia-Nya. Sesungguhnya kami orang-orang yang berharap kepada Allah” (At-Taubah : 59)
Allah Ta’ala menjadikan sumber hukum hanya milikNya dan RosulNya, sesuai dengan firmanNya, “Apa  yang diberikan Rosul kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarang bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah sangat keras siksaNya” (Al-Hasyr : 7)
3)        Ilmu
Imam Ibnu Rajab rahimahulloh mengatakan, “Pokok ilmu adalah pengetahuan terhadap Allah Ta’ala yang mendatangkan rasa takut dan cinta kepada-Nya, serta selalu mendekat dan rindu kepada-Nya. Selanjutnya adalah pengetahuan tentang hukum-hukum Allah Ta’ala dan segala apa yang dicintai dan diridhoi Allah Ta’ala dari hamba-Nya berupa perkataan, perbuatan, keadaan maupun keyakinan. Siapa saja yang terwujud dua ilmu ini pada dirinya maka ilmunya adalah ilmu yang bermanfaat. Ia memperoleh ilmu yang bermanfaat, hati yang khusyu’, jiwa yang merasa puas dan do’a yang didengar”
Abu Darda radiyallahu’anhu  berkata, “Kamu selamanya tidak akan menjadi orang yang bertakwa sampai kamu berilmu, dan ilmu tersebut tidak akan menjadikanmu baik  sampai kamu mengamalkannya”
Mungkinkah seorang yang bertakwa tapi tidak memiliki ilmu?! Dari mana seseorang mengetahui perintah dan larangan Allah Ta’ala kalau dia tidak menuntut ilmu?! Sebuah kemustahilan seseorang bisa mewujudkan penghambaan dirinya kepada Allah Ta’ala secara sempurna jika dia tidak memiliki ilmu tentangnya.
Jelaslah bagi kita ilmu merupakan syarat mutlak menggapai ketakwaan yang sebenarnya.

Keutamaan Takwa
Banyak keutamaan takwa di dalam Al-Qur’an, diantaranya :
  • Amal yang bisa mengangkat derajat seseorang di dalam surga (Az-Zumar : 20)
  • Allah Ta’ala bersama orang-orang yang bertakwa (An-Nahl : 128)
  • Takwa merupakan sebaik-baik bekal seorang hamba di dunia dan di akherat (Al-Baqoroh:197)
  • Dimudahkan urusan di dunia dan di akherat, serta dimudahkan rizkinya (Ath-Tholaq : 4)
  • Takwa sebagai sebab seorang hamba dicintai Allah Ta’ala (Al-Imron : 76)
  • Surga diwariskan bagi orang-orang yang bertakwa (Maryam : 63)
Ciri-ciri Orang Yang Bertakwa
Allah Ta’ala  berfirman, “Dan bersgeralah kamu mencari pengampunan dari Rabbmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang berinfak baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan, dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzhalimi diri sendiri (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampun atas dosa-dosanya, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah. Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosanya itu, sedang mereka mengetahui. Balasan bagi mereka adalah ampunan dari Rabb mereka dan surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan (itulah) sebaik-baik pahala bagi orang-orang yang beramal” (Ali’Imron : 133-136)

Benarkah Ada Kesurupan ?



Biasanya kesurupan terjadi pada orang-orang yang jauh dari ketaatan, jauh dari mengingat Allah, sehingga jin jahat datang menghampiri dan merasuk ke dalam tubuhnya. Namun benarkah jin bisa merasuk ke dalam tubuh seseorang? Ataukah itu hanya penyakit biasa atau karena gangguan kejiwaan?
Syaikhuna –guru kami- Dr. Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan -anggota komisi fatwa di Saudi Arabia- diajukan pertanyaan,
“Di zaman kita saat ini banyak peristiwa jin yang merasuk pada tubuh manusia. Sebagian orang ada yang mengingkari hal ini. Bahkan sebagiannya mengingkari adanya jin secara mutlak. Apakah berprinsip semacam ini berpengaruh pada akidah seorang muslim? Apakah kita harus beriman pada jin? Lantas apa beda jin dan malaikat?”

Syaikh hafizhohullah memberikan jawaban,
Mengingkari keberadaan jin adalah suatu kekufuran yang membuat seseorang murtad dari Islam. Karena mengingkari keberadaanya berarti mengingkari hal yang telah ditegaskan dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Beriman kepada keberadaan jin termasuk beriman pada yang ghaib yaitu perkara yang tidak bisa kita lihat. Kita hanya beriman atas keberadaannya berdasarkan berita yang valid. Allah Ta’ala menceritakan tentang iblis dan bala tentaranya,
إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ
Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka” (QS. Al A’raf: 27).
Sedangkan pengingkaran terhadap kesurupan (kerasukan jin pada manusia), itu bukanlah suatu kekufuran. Namun ini jelas keliru karena telah mendustakan perkara yang telah disebutkan dalam dalil syar’i dan realita pun menunjukkan demikian. Akan tetapi, karena perkara ini masih samar, orang yang mengingkari kerasukan jin tidaklah kafir. Ia hanya keliru. Karena ia mengingkarinya tanpa berpegang pada dalil. Yang jadi pegangannya hanyalah akal dan pengetahuannya. Padahal akal itu sendiri tidak bisa menelusuri perkara ghaib. Begitu pula akal tidak bisa mengalahkan dalil syar’i. Yang mengedepankan akal hanyalah orang-orang yang sesat.
Adapun perbedaan antara jin dan malaikat bisa dilihat dari beberapa sisi:
Pertama, dilihat dari asal penciptaan. Jin diciptakan dari api yang beracun. Sedangkan malaikat diciptakan dari cahaya.
Kedua, malaikat adalah hamba yang sangat taat pada Allah, hamba yang didekatkan dan dimuliakan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
بَلْ عِبَادٌ مُكْرَمُونَ (26) لَا يَسْبِقُونَهُ بِالْقَوْلِ وَهُمْ بِأَمْرِهِ يَعْمَلُونَ (27)
Sebenarnya (malaikat-malaikat itu), adalah hamba-hamba yang dimuliakan, mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya” (QS. Al Anbiya’: 26-27).
Dan firman Allah Ta’ala (tentang malaikat),
لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim: 6).
Adapun jin, di antara mereka ada yang beriman dan ada yang kafir. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنَّا مِنَّا الْمُسْلِمُونَ وَمِنَّا الْقَاسِطُونَ
Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang taat dan ada (pula) orang-orang yang menyimpang dari kebenaran” (QS. Al Jin: 14). Yaitu ada jin yang taat dan ada jin yang bermaksiat.
Dan firman Allah Ta’ala,
وَأَنَّا مِنَّا الصَّالِحُونَ وَمِنَّا دُونَ ذَلِكَ
Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang saleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya” (QS. Al Jin: 11). Dan beberapa ayat lainnya.
[Diterjemahkan dari risalah Syaikh Sholeh Al Fauzan, As Sihr wa Asy Sya’wadzah, 61-62, terbitan Darul Qosim]
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 3 Robi’ul Awwal 1433 H

Nasehat Untuk Remaja Muslim




Kami persembahkan nasehat ini untuk saudara-saudara kami terkhusus para pemuda dan remaja muslim. Mudah-mudahan nasehat ini dapat membuka mata hati mereka sehingga mereka lebih tahu tentang siapa dirinya sebenarnya, apa kewajiban yang harus mereka tunaikan sebagai seorang muslim, agar mereka merasa bahwa masa muda ini tidak sepantasnya untuk diisi dengan perkara yang bisa melalaikan mereka dari mengingat Allah subhanahu wata’ala sebagai penciptanya, agar mereka tidak terus-menerus bergelimang ke dalam kehidupan dunia yang fana dan lupa akan negeri akhirat yang kekal abadi.
Wahai para pemuda muslim, tidakkah kalian menginginkan kehidupan yang bahagia selamanya? Tidakkah kalian menginginkan jannah (surga) Allah subhanahu wata’ala yang luasnya seluas langit dan bumi?
Ketahuilah, jannah Allah subhanahu wata’ala itu diraih dengan usaha yang sungguh-sungguh dalam beramal. Jannah itu disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa yang mereka tahu bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara, mereka merasa bahwa gemerlapnya kehidupan dunia ini akan menipu umat manusia dan menyeret mereka kepada kehidupan yang sengsara di negeri akhirat selamanya. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Ali ‘Imran: 185)
Untuk Apa Kita Hidup di Dunia?
Wahai para pemuda, ketahuilah, sungguh Allah subhanahu wata’ala telah menciptakan kita bukan tanpa adanya tujuan. Bukan pula memberikan kita kesempatan untuk bersenang-senang saja, tetapi untuk meraih sebuah tujuan mulia. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat: 56)

Beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Itulah tugas utama yang harus dijalankan oleh setiap hamba Allah.
Dalam beribadah, kita dituntut untuk ikhlas dalam menjalankannya. Yaitu dengan beribadah semata-mata hanya mengharapkan ridha dan pahala dari Allah subhanahu wata’ala. Jangan beribadah karena terpaksa, atau karena gengsi terhadap orang-orang di sekitar kita. Apalagi beribadah dalam rangka agar dikatakan bahwa kita adalah orang-orang yang alim, kita adalah orang-orang shalih atau bentuk pujian dan sanjungan yang lain.
Umurmu Tidak Akan Lama Lagi
Wahai para pemuda, jangan sekali-kali terlintas di benak kalian: beribadah nanti saja kalau sudah tua, atau mumpung masih muda, gunakan untuk foya-foya. Ketahuilah, itu semua merupakan rayuan setan yang mengajak kita untuk menjadi teman mereka di An Nar (neraka).
Tahukah kalian, kapan kalian akan dipanggil oleh Allah subhanahu wata’ala, berapa lama lagi kalian akan hidup di dunia ini? Jawabannya adalah sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala:
وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui apa yang akan dilakukannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34)
Wahai para pemuda, bertaqwalah kalian kepada Allah subhanahu wata’ala. Mungkin hari ini kalian sedang berada di tengah-tengah orang-orang yang sedang tertawa, berpesta, dan hura-hura menyambut tahun baru dengan berbagai bentuk maksiat kepada Allah subhanahu wata’ala, tetapi keesokan harinya kalian sudah berada di tengah-tengah orang-orang yang sedang menangis menyaksikan jasad-jasad kalian dimasukkan ke liang lahad (kubur) yang sempit dan menyesakkan.
Betapa celaka dan ruginya kita, apabila kita belum sempat beramal shalih. Padahal, pada saat itu amalan diri kita sajalah yang akan menjadi pendamping kita ketika menghadap Allah subhanahu wata’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلاَثَةٌ: أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ, فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى وَاحِدٌ, يَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ.
“Yang mengiringi jenazah itu ada tiga: keluarganya, hartanya, dan amalannya. Dua dari tiga hal tersebut akan kembali dan tinggal satu saja (yang mengiringinya), keluarga dan hartanya akan kembali, dan tinggal amalannya (yang akan mengiringinya).” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Wahai para pemuda, takutlah kalian kepada adzab Allah subhanahu wata’ala. Sudah siapkah kalian dengan timbangan amal yang pasti akan kalian hadapi nanti. Sudah cukupkah amal yang kalian lakukan selama ini untuk menambah berat timbangan amal kebaikan.
Betapa sengsaranya kita, ketika ternyata bobot timbangan kebaikan kita lebih ringan daripada timbangan kejelekan. Ingatlah akan firman Allah subhanahu wata’ala:
فَأَمَّا مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ وَمَا أَدْرَاكَ مَا هِيَهْ نَارٌ حَامِيَةٌ
“Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas.” (Al Qari’ah: 6-11)
Bersegeralah dalam Beramal
Wahai para pemuda, bersegeralah untuk beramal kebajikan, dirikanlah shalat dengan sungguh-sungguh, ikhlas dan sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena shalat adalah yang pertama kali akan dihisab nanti pada hari kiamat, sebagaimana sabdanya:
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمْ الصَّلاَةُ
“Sesungguhnya amalan yang pertama kali manusia dihisab dengannya di hari kiamat adalah shalat.” (HR. At Tirmidzi, An Nasa`i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad. Lafazh hadits riwayat Abu Dawud no.733)
Bagi laki-laki, hendaknya dengan berjama’ah di masjid. Banyaklah berdzikir dan mengingat Allah subhanahu wata’ala. Bacalah Al Qur’an, karena sesungguhnya ia akan memberikan syafaat bagi pembacanya pada hari kiamat nanti.
Banyaklah bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala. Betapa banyak dosa dan kemaksiatan yang telah kalian lakukan selama ini. Mudah-mudahan dengan bertaubat, Allah subhanahu wata’ala akan mengampuni dosa-dosa kalian dan memberi pahala yang dengannya kalian akan memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Wahai para pemuda, banyak-banyaklah beramal shalih, pasti Allah subhanahu wata’ala akan memberi kalian kehidupan yang bahagia, dunia dan akhirat. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (An Nahl: 97)
Engkau Habiskan untuk Apa Masa Mudamu?
Pertanyaan inilah yang akan diajukan kepada setiap hamba Allah subhanahu wata’ala pada hari kiamat nanti. Sebagaimana yang diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam salah satu haditsnya:
لاَ تَزُوْلُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ : عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيْمَا أَبْلاَهُ وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَا أَنْفَقَهُ وَمَاذَا عَمِلَ فِيْمَا عَلِمَ.
“Tidak akan bergeser kaki anak Adam (manusia) pada hari kiamat nanti di hadapan Rabbnya sampai ditanya tentang lima perkara: umurnya untuk apa dihabiskan, masa mudanya untuk apa dihabiskan, hartanya dari mana dia dapatkan dan dibelanjakan untuk apa harta tersebut, dan sudahkah beramal terhadap ilmu yang telah ia ketahui.” (HR. At Tirmidzi no. 2340)
Sekarang cobalah mengoreksi diri kalian sendiri, sudahkah kalian mengisi masa muda kalian untuk hal-hal yang bermanfaat yang mendatangkan keridhaan Allah subhanahu wata’ala? Ataukah kalian isi masa muda kalian dengan perbuatan maksiat yang mendatangkan kemurkaan-Nya?
Kalau kalian masih saja mengisi waktu muda kalian untuk bersenang-senang dan lupa kepada Allah subhanahu wata’ala, maka jawaban apa yang bisa kalian ucapkan di hadapan Allah subhanahu wata’ala Sang Penguasa Hari Pembalasan? Tidakkah kalian takut akan ancaman Allah subhanahu wata’ala terhadap orang yang banyak berbuat dosa dan maksiat? Padahal Allah subhanahu wata’ala telah mengancam pelaku kejahatan dalam firman-Nya:
مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
“Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.” (An Nisa’: 123)
Bukanlah masa tua yang akan ditanyakan oleh Allah subhanahu wata’ala. Oleh karena itu, pergunakanlah kesempatan di masa muda kalian ini untuk kebaikan.
Ingat-ingatlah selalu bahwa setiap amal yang kalian lakukan akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah subhanahu wata’ala.
Jauhi Perbuatan Maksiat
Apa yang menyebabkan Adam dan Hawwa dikeluarkan dari Al Jannah (surga)? Tidak lain adalah kemaksiatan mereka berdua kepada Allah subhanahu wata’ala. Mereka melanggar larangan Allah subhanahu wata’ala karena mendekati sebuah pohon di Al Jannah, mereka terbujuk oleh rayuan iblis yang mengajak mereka untuk bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala.
Wahai para pemuda, senantiasa iblis, setan, dan bala tentaranya berupaya untuk mengajak umat manusia seluruhnya agar mereka bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala, mereka mengajak umat manusia seluruhnya untuk menjadi temannya di neraka. Sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala jelaskan dalam firman-Nya (yang artinya):
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ
“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6)
Setiap amalan kejelekan dan maksiat yang engkau lakukan, walaupun kecil pasti akan dicatat dan diperhitungkan di sisi Allah subhanahu wata’ala. Pasti engkau akan melihat akibat buruk dari apa yang telah engkau lakukan itu. Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya):
وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
“Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apapun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (Az Zalzalah: 8)
Setan juga menghendaki dengan kemaksiatan ini, umat manusia menjadi terpecah belah dan saling bermusuhan. Jangan dikira bahwa ketika engkau bersama teman-temanmu melakukan kemaksiatan kepada Allah subhanahu wata’ala, itu merupakan wujud solidaritas dan kekompakan di antara kalian. Sekali-kali tidak, justru cepat atau lambat, teman yang engkau cintai menjadi musuh yang paling engkau benci. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
“Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu karena (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).” (Al Maidah: 91)
Demikianlah setan menjadikan perbuatan maksiat yang dilakukan manusia sebagai sarana untuk memecah belah dan menimbulkan permusuhan di antara mereka.
Ibadah yang Benar Dibangun di atas Ilmu
Wahai para pemuda, setelah kalian mengetahui bahwa tugas utama kalian hidup di dunia ini adalah untuk beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala semata, maka sekarang ketahuilah bahwa Allah subhanahu wata’ala hanya menerima amalan ibadah yang dikerjakan dengan benar. Untuk itulah wajib atas kalian untuk belajar dan menuntut ilmu agama, mengenal Allah subhanahu wata’ala, mengenal Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mengenal agama Islam ini, mengenal mana yang halal dan mana yang haram, mana yang haq (benar) dan mana yang bathil (salah), serta mana yang sunnah dan mana yang bid’ah.
Dengan ilmu agama, kalian akan terbimbing dalam beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala, sehingga ibadah yang kalian lakukan benar-benar diterima di sisi Allah subhanahu wata’ala. Betapa banyak orang yang beramal kebajikan tetapi ternyata amalannya tidak diterima di sisi Allah subhanahu wata’ala, karena amalannya tidak dibangun di atas ilmu agama yang benar.
Oleh karena itu, wahai para pemuda muslim, pada kesempatan ini, kami juga menasehatkan kepada kalian untuk banyak mempelajari ilmu agama, duduk di majelis-majelis ilmu, mendengarkan Al Qur’an dan hadits serta nasehat dan penjelasan para ulama. Jangan sibukkan diri kalian dengan hal-hal yang kurang bermanfaat bagi diri kalian, terlebih lagi hal-hal yang mendatangkan murka Allah subhanahu wata’ala.
Ketahuilah, menuntut ilmu agama merupakan kewajiban bagi setiap muslim, maka barangsiapa yang meninggalkannya dia akan mendapatkan dosa, dan setiap dosa pasti akan menyebabkan kecelakaan bagi pelakunya.
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.
“Menuntut ilmu agama itu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah no.224)
Akhir Kata
Semoga nasehat yang sedikit ini bisa memberikan manfaat yang banyak kepada kita semua. Sesungguhnya nasehat itu merupakan perkara yang sangat penting dalam agama ini, bahkan saling memberikan nasehat merupakan salah satu sifat orang-orang yang dijauhkan dari kerugian, sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala firmankan dalam surat Al ‘Ashr:
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat- menasehati dalam kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Al ‘Ashr: 1-3)
Wallahu ta‘ala a’lam bishshowab.
Sumber: Buletin Al-Ilmu,

Template Information

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. BELAJAR ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger