Latest Article Get our latest posts by subscribing this site

Jujur dan Amanah Dalam Berniaga, Sumber Keberkahan Harta

Berdagang yang halal dengan sifat-sifat terpuji adalah pekerjaan yang disukai dan dianjurkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat Radhiyallahu anhu. Kisah keteladan Yunus bin ‘Ubaid bin Dinar al-Bashri, pedagang kain yang sangat jujur dan selalu menjelaskan cacat barang dagangan sebelum terjadi jual-beli.

Keberkahan dan kebaikan harta merupakan dambaan setiap insan beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Inilah harta yang akan menolong seorang hamba, dengan taufik dari Allah Subhanahu wa ta’ala, untuk meraih kedudukan yang mulia di sisi-Nya. Inilah harta yang dipuji oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau: “Sebaik-baik harta yang sholeh (penuh berkah) adalah untuk seorang (hamba) yang sholeh (HR. Ahmad, 4/197; Ibnu Hibban, No. 3210; dan al-Hakim, 2/3; dinyatakan sahih oleh imam Ibnu Hibban, al-Hakim, adz-Dzahabi dan Syaikh Al-Albani dalam Takhrij Kitab al-Adabul Mufrad No. 299).

Di antara sebab besar yang menjadikan harta diberkahi Allah Subhanahu wa ta’ala dan menjadi penolong manusia dalam ketaatan adalah bersikap jujur dan amanah dalam mencari rezeki dari Allah Subhanahu wa ta’ala, terutama dalam berjual-beli dan berniaga. Kisah berikut semoga dapat menjadi teladan bagi kita dalam upaya menjadikan harta yang kita peroleh dari usaha perniagaan diberkahi oleh Allah Subhanahu wa ta’alaa.
Yunus bin ‘Ubaid bin Dinar al-Bashri (wafat pada 139 H), sebagaimana tersebut pada biografi beliau dalam kitab Siyaru a’laamin nubala, 6/288; dan Shifatush shafwah, 32/517, adalah seorang imam panutan dari generasi tabi’in yang sangat terpercaya dan teliti meriwayatkan hadis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta sangat wara’ (hati-hati dalam masalah halal dan haram, sebagaimana disebutkan dalam kitab Taqriibut tahdziib, hlm. 613. Beliau seorang pedagang kain yang sangat jujur dan selalu menjelaskan cacat barang dagangan sebelum terjadi jual-beli (simak kitab Siyaru a’laamin nubala, 6/290). Bahkan karena kejujurannya, beliau pernah mengembalikan uang seseorang yang membeli kain dari beliau dengan harga lebih tinggi karena waktu itu yang melayaninya keponakan beliau (Siyaru a’laamin nubala, 6/289). Begitu pula sebaliknya. Jika membeli barang dari seseorang, beliau akan membayarnya dengan harga yang sesuai, meski penjualnya pada awalnya menawarkan harga lebih murah (Siyaru a’laamin nubala, 6/289).
Diriwayatkan dalam biografi beliau, suatu saat harga kain di daerah dekat Bashrah naik menjadi lebih mahal. Sesuai kebiasaan, jika di suatu daerah harga kain naik, harga kain di Bashrah pun akan ikut naik. Mengetahui hal itu, Yunus bin ‘Ubaid segera membeli sejumlah besar kain dari pedagang kain lain dengan harga pasar. Setelah selesai bertransaksi, beliau bertanya kepada pedagang kain: “Apakah engkau mengetahui bahwa harga kain naik di daerah Anu? Penjual kain itu menjawab, “Tidak. Kalau saja aku tahu, tentu aku tidak akan menjualnya kepadamu.” Yunus bin ‘Ubaid berkata, “(Kalau begitu) kembalikan uangku padaku dan aku akan kembalikan barangmu.”(Siyaru a’laamin nubala, 6/289).
Masya Allah! Betapa mulia dan agungnya sifat beliau. Betapa tingginya sifat jujur dan amanah dalam diri beliau sehingga dengan sebab inilah Allah Subhanahu wa ta’ala memberkahi harta beliau dan memudahkan beliau meraih kedudukan mulia dalam agama-Nya, sehingga imam adz-Dzahabi menyifati beliau sebagai “seorang imam dan panutan (dalam kebaikan)”(simak kitab Tadzkiratul huffaazh, 1/145).
Oleh karena keutamaan kedua sifat itu dalam berjual-beli, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Seorang pedagang Muslim yang jujur dan amanah (terpercaya) akan (dikumpulkan) bersama para Nabi ‘alaihissalam, orang-orang shiddiq dan orang-orang yang mati syahid pada Hari Kiamat (nanti).” Demikian diriwayatkan oleh Ibnu Majah No. 2139, juga al-Hakim No. 2142, dan ad-Daraquthni No. 17; dalam sanadnya ada kelemahan, tetapi ada hadis lain yang menguatkannya, dari Abu Sa’id al-Khudri Rahimullah, HR. at-Tirmidzi No. 1209 dan lain-lain. Oleh karena itu, hadis itu dinyatakan baik sanadnya oleh Imam adz-Dzahabi dan Syaikh al-Albani (simak ash-Shahiihah” No. 3453).
Imam ath-Thiibi mengomentari hadis tersebut dengan mengatakan, “Barangsiapa yang selalu mengutamakan sifat jujur dan amanah, dia termasuk golongan orang-orang yang taat (kepada Allah Subhanahu wa ta’ala) dari kalangan orang-orang shiddiq dan orang-orang yang mati syahid, tapi barangsiapa yang selalu memilih sifat dusta dan khianat, dia termasuk golongan orang-orang yang durhaka (kepada Allah Subhanahu wa ta’ala) dari kalangan orang-orang yang fasiq (buruk/rusak agamanya) atau pelaku maksiat.” (simak kitab Syarhu sunani Ibni Majah, hl,. 155)
Beberapa pelajaran penting yang dapat kita petik dari kisah di atas antara lain:
  • Maksud sifat jujur dan amanah dalam berjual-beli adalah dalam keterangan yang disampaikan sehubungan dengan jual-beli tersebut, dan penjelasan tentang cacat atau kekurangan pada barang dagangan yang dijual jika memang ada cacat padanya (simak kitab Faidhul Qadiir, 3/278).
  • Inilah sebab yang menjadikan keberkahan dan kebaikan dalam perdagangan dan jual-beli, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Kalau keduanya (pedagang dan pembeli) bersifat jujur dan menjelaskan (keadaan barang dagangan atau uang pembayaran), Allah akan memberkahi keduanya dalam jual-beli tersebut, tapi kalau keduanya berdusta dan menyembunyikan (hal tersebut), akan hilang keberkahan jual-beli tersebut.” (HR. al-Bukhari No. 1973, dan Muslim No. 1532)
  • Berdagang yang halal dengan sifat-sifat terpuji, sebagaimana disebutkan sebelumnya, adalah pekerjaan yang disukai dan dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat Radhiyallahu anhu sebagaimana yang disebutkan dalam hadis sahih yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul kabiir, 23/300, No. 674 dan dinyatakan jayyid (baik/sahih) oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilatul ahaa-ditsish shahiihah No. 2929).
  • Ada pun hadis mengenai “Sembilan per sepuluh (90%) rezeki adalah dari perniagaan”, ini adalah hadis lemah sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilatul ahaa-ditsidh dha’iifah No. 3402. (PM)
 Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A.

3 Syarat disebut Bid'ah

Sebagian orang kadang memahami apa yang dimaksud dengan bid'ah. Mereka menganggap bahwa bid'ah adalah setiap perkara baru. Sehingga karena saking tidak suka dengan orang yang meneriakkan bid'ah, ia pun mengatakan, "Kalau memang hal itu bid'ah, kamu tidak boleh pakai HP, tidak boleh haji dengan naik pesawat, tidak boleh pakai komputer, dst karena semua itu baru dan bid'ah adalah suatu yang baru dan dibuat-buat". Padahal sebenarnya hal-hal tadi bukanlah bid'ah yang tercela dalam Islam karena bid'ah yang tercela adalah bid'ah dalam masalah agama. Begitu juga ada yang tidak setuju dengan nasehat bid'ah, ia menyampaikan bahwa para sahabat dahulu mengumpulkan Al Qur'an dan di masa 'Umar dihidupkan shalat tarawih secara berjama'ah. Syubhat-syubhat yang muncul ini karena tidak memahami hakekat bid'ah. Untuk lebih jelas dalam memahami bid'ah, kita seharusnya memahami tiga syarat disebut bid'ah yang disimpulkan dari dalil-dalil berikut ini.

Pertama: Hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, dalam hadits tersebut disebutkan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.”[1]
Kedua: Hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dalam hadits tersebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.[2]
Dalam riwayat An Nasa’i dikatakan,
وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
Setiap kesesatan tempatnya di neraka.”[3]
Ketiga: Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.”[4]
Keempat: Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.”[5]
Dari hadits-hadits tersebut dapat disimpulkan apa yang dimaksud bid’ah yang terlarang dalam agama, yaitu:
  1. Sesuatu yang baru (dibuat-buat).
  2. Sesuatu yang baru dalam agama.
  3. Tidak disandarkan pada dalil syar’i.
Pertama: Sesuatu yang baru (dibuat-buat).
Syarat pertama ini diambil dari sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ أَحْدَثَ
Siapa yang berbuat sesuatu yang baru.
كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
Setiap yang baru adalah bid’ah.
Sehingga masuk dalam definisi adalah segala sesuatu yang baru yang tidak ada contoh sebelumnya baik berkaitan dengan urusan agama maupun dunia, baik sesuatu yang terpuji (mahmudah) maupun yang tercela (madzmuma). Sehingga perkara yang sudah ada sebelumnya yang tidak dibuat-buat tidak termasuk bid’ah seperti shalat lima waktu dan puasa Ramadhan. Perkara dunia juga termasuk dalam definisi pertama ini, namun akan semakin jelas jika kita menambah pada syarat kedua.
Kedua: Sesuatu yang baru dalam agama.
Karena dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan,
فِى أَمْرِنَا هَذَا
Dalam urusan agama kami.” Sehingga perkara dunia tidak termasuk dalam hal ini. Yang dimaksudkan bid’ah dalam urusan agama berarti: (1) bid’ah mendekatkan diri pada Allah dengan sesuatu yang tidak disyari’atkan, (2) bid’ah telah keluar dari aturan Islam, dan (3) sesuatu dilarang karena dapat mengantarkan pada bid’ah lainnya.
Ketiga: Tidak disandarkan pada dalil syar’i yang bersifat umum maupun khusus.
Hal ini diambil dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَا لَيْسَ مِنْهُ
Tidak asalnya (dalilnya) dalam Islam.”
Ini berarti jika sesuatu memiliki landasan dalam Islam berupa dalil yang sifatnya umum seperti dalam permasalahan ‘maslahah mursalah’, contoh mengumpulkan Al Qur’an di masa sahabat, maka tidak termasuk bid’ah. Begitu pula jika ada sesuatu yang mendukung dengan dalil yang sifatnya khusus seperti menghidupkan kembali shalat tarawih secara berjama’ah di masa ‘Umar bin Khottob tidak termasuk bid’ah.
Tiga syarat di atas telah kita temukan pula dalam perkataan para ulama berikut.
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata,
فكلُّ من أحدث شيئاً ، ونسبه إلى الدِّين ، ولم يكن له أصلٌ من الدِّين يرجع إليه ، فهو ضلالةٌ ، والدِّينُ بريءٌ منه ، وسواءٌ في ذلك مسائلُ الاعتقادات ، أو الأعمال ، أو الأقوال الظاهرة والباطنة .
“Setiap yang dibuat-buat lalu disandarkan pada agama dan tidak memiliki dasar dalam Islam, itu termasuk kesesatan. Islam berlepas diri dari ajaran seperti itu termasuk dalam hal i’tiqod (keyakinan), amalan, perkataan yang lahir dan batin.”[6]
Beliau rahimahullah juga berkata,
والمراد بالبدعة : ما أُحْدِثَ ممَّا لا أصل له في الشريعة يدلُّ عليه ، فأمَّا ما كان له أصلٌ مِنَ الشَّرع يدلُّ عليه ، فليس ببدعةٍ شرعاً ، وإنْ كان بدعةً لغةً
“Yang dimaksud dengan bid’ah adalah sesuatu yang baru yang tidak memiliki landasan (dalil) dalam syari’at sebagai pendukung. Adapun jika didukung oleh dalil syar’i, maka itu bukanlah bid’ah menurut istilah syar’i, namun bid’ah secara bahasa.”[7]
Ibnu Hajar Al Asqolani Asy Syafi’i rahimahullah berkata,
والمراد بقوله كل بدعة ضلالة ما أحدث ولا دليل له من الشرع بطريق خاص ولا عام
“Yang dimaksud setiap bid’ah adalah sesat yaitu setiap amalan yang dibuat-buat dan tidak ada dalil pendukung baik dalil khusus atau umum.”[8]
Ibnu Hajar juga menyatakan mengenai bid’ah,
مَنْ اِخْتَرَعَ فِي الدِّين مَا لَا يَشْهَد لَهُ أَصْل مِنْ أُصُوله فَلَا يُلْتَفَت إِلَيْهِ
“Siapa yang membuat-buat perkara baru dalam agama lalu tidak didukung oleh dalil, maka ia tidak perlu ditoleh.”[9]
Di tempat lain, Ibnu Hajar berkata,
وَمَا كَانَ لَهُ أَصْل يَدُلّ عَلَيْهِ الشَّرْع فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ ، فَالْبِدْعَة فِي عُرْف الشَّرْع مَذْمُومَة بِخِلَافِ اللُّغَة فَإِنَّ كُلّ شَيْء أُحْدِث عَلَى غَيْر مِثَال يُسَمَّى بِدْعَة سَوَاء كَانَ مَحْمُودًا أَوْ مَذْمُومًا
“Sesuatu yang memiliki landasan dalil dalam syari’at, maka itu bukanlah bid’ah. Maka bid’ah menurut istilah syari’at adalah tercela berbeda dengan pengertian bahasa karena bid’ah secara bahasa adalah segala sesuatu yang dibuat-buat tanpa ada contoh sebelumnya baik terpuji maupun tercela.”[10]
Setelah memahami yang dikemukakan di atas, pengertian bid’ah secara ringkas adalah,
ما أحدث في الدين من غير دليل
Sesuatu yang baru (dibuat-buat) dalam masalah agama tanpa adanya dalil.[11] Inilah yang dimaksud dengan bid’ah yang tercela dan dicela oleh Islam.
Semoga dengan memahami hal ini, kita tidak rancu lagi dengan berbagai macam hal seputar bid'ah, terkhusus dalam memahami perkataan ulama mengenai bid'ah hasanah..
Wallahu waliyyut taufiq.


[1] HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih.
[2] HR. Muslim no. 867
[3] HR. An Nasa’i no. 1578. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[4] HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718
[5] HR. Muslim no. 1718.
[6] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 128.
[7] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 127.
[8] Fathul Bari, 13: 254.
[9] Fathul Bari, 5: 302.
[10] Fathul Bari, 13: 253.
[11] Lihat Qowa’id Ma’rifatil Bida’, hal. 22. Pembahasan pada point ini juga diringkas dari Qowa’id Ma’rifatil Bida’, hal. 17-22.

AKIBAT TIDAK AMANAH DALAM KEPEMIMPINAN


Janji demi janji diberi menjelang pesta rakyat, Pemilu yang dihadapi setahun lagi. Inilah yang digaungkan oleh para penggila kekuasaan. Awalnya ingin mengatasnamakan rakyat ketika awal-awal berkampanye. Namun kala mereka mendapatkan kursi panas, janji tinggallah janji. Awalnya mereka adalah orang yang kenal agama, karena kekuasaan, hidup glamor yang jadi prioritas, bahkan agama pun dikorbankan demi ambisi kekuasaan.
Inilah realita yang terjadi pada para penggila kekuasaan. Benarlah kata Rasul kita -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa kekuasaan bisa jadi ambisi setiap orang. Namun ujungnya selalu ada penyesalan. Beliau bersabda,
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الإِمَارَةِ ، وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، فَنِعْمَ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتِ الْفَاطِمَةُ
Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, ujungnya hanya penyesalan pada hari kiamat. Di dunia ia mendapatkan kesenangan, namun setelah kematian sungguh penuh derita” (HR. Bukhari no. 7148)

Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata bahwa ucapan Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- di atas menceritakan tentang sesuatu sebelum terjadinya dan ternyata benar terjadi.
Hadits di atas semakin jelas jika dilihat dari riwayat lainnya yang dikeluarkan oleh Al Bazzar, Ath Thobroni dengan sanad yang shahih dari ‘Auf bin Malik dengan lafazh,
أَوَّلهَا مَلَامَة ؛ وَثَانِيهَا نَدَامَة ، وَثَالِثهَا عَذَاب يَوْمَ الْقِيَامَة ، إِلَّا مَنْ عَدَلَ
Awal (dari ambisi terhadap kekuasaan) adalah rasa sakit, lalu kedua diikuti dengan penyesalan, setelah itu ketiga diikuti dengan siksa pada hari kiamat, kecuali bagi yang mampu berbuat adil.
Dan disebutkan oleh Thobroni dari hadits Zaid bin Tsabit yang marfu’,
نِعْمَ الشَّيْء الْإِمَارَة لِمَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَحِلِّهَا ، وَبِئْسَ الشَّيْء الْإِمَارَة لِمَنْ أَخَذَهَا بِغَيْرِ حَقّهَا تَكُون عَلَيْهِ حَسْرَة يَوْم الْقِيَامَة
Sebaik-baik perkara adalah kepemimpinan bagi yang menunaikannya dengan cara yang benar. Sejelek-jelek perkara adalah kepemimpinan bagi yang tidak menunaikannya dengan baik dan kelak ia akan merugi pada hari kiamat.”
Terdapat pula dalam riwayat Muslim dari hadits Abu Dzar,
قُلْت يَا رَسُول اللَّه أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي ؟ قَالَ : إِنَّك ضَعِيف ، وَإِنَّهَا أَمَانَة ، وَإِنَّهَا يَوْم الْقِيَامَة خِزْي وَنَدَامَة إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
“Aku berkata, “Wahai Rasulullah, kenapa engkau enggan mengangkatku (jadi pemimpin)?” Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab, “Engkau itu lemah. Kepemimpinan adalah amanat. Pada hari kiamat, ia akan menjadi hina dan penyesalan kecuali bagi yang mengambilnya dan menunaikannya dengan benar.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ini pokok penting yang menunjukkan agar kita menjauhi kekuasaan lebih-lebih bagi orang yang lemah. Orang lemah yang dimaksud adalah yang mencari kepemimpinan padahal ia bukan ahlinya dan tidak mampu berbuat adil. Orang seperti ini akan menyesal terhadap keluputan dia ketika ia dihadapkan pada siksa pada hari kiamat. Adapun orang yang ahli dan mampu berbuat adil dalam kepemimpinan, maka pahala besar akan dipetik sebagaimana didukung dalam berbagai hadits. Akan tetapi, masuk dalam kekuasaan itu perkara yang amat berbahaya. Oleh karenanya, para pembesar (orang berilmu) dilarang untuk masuk ke dalamnya. Wallahu a’lam.”
Lantas bagaimana akibat tidak amanat dalam menunaikan kepemimpinan? Dalam hadits di atas sudah disebutkan akibatnya,
فَنِعْمَ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتِ الْفَاطِمَةُ
Di dunia ia mendapatkan kesenangan, namun setelah kematian sungguh penuh derita”. Ad Dawudi berkata mengenai maksud kalimat tersebut adalah kepemimpinan bisa berbuah kenikmatan di dunia, namun bisa jadi penghidupan jelek setelah kematian karena kepemimpinan akan dihisab dan ia bagaikan bayi yang disapih sebelum ia merasa cukup lalu akan membuatnya sengsara. Ulama lain berkata mengenai maksud hadits, kekuasaan memang akan menghasilkan kenikmatan berupa kedudukan, harta, tenar, kenikmatan duniawi yang bisa dirasa, namun kekuasaan bisa bernasib jelek di akhirat.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
[Disarikan dari Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al Asqolani, 13: 125-126]

Riyadh-KSA, 23 Rabi’ul Awwal 1434 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Hakikat Kekayaan....


Hanya dengan cara pandang agama, manusia akan percaya bahwa sesungguhnya kekayaan tidak selalu berwujud harta benda. Kekayaan yang sebenarnya tidak selalu diukur dengan besarnya angka-angka materi. Keluasan hati saat seorang hamba mampu menekan hawa nafsunya, bersikap menerima dan mensyukuri apa yang ada justru Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam nyatakan sebagai kekayaan yang sebenarnya.
Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Kekayaan bukanlah banyak harta benda, akan tetapi kekayaan adalah kekayaan hati.” (Hadis riwayat Bukhari Muslim)
Ibnu Baththal berkata, “Hadis ini bermakna bahwa kekayaan yang hakiki bukan pada harta yang banyak. Karena, banyak orang yang Allah luaskan harta padanya namun ia tidak merasa cukup dengan pemberian itu, ia terus bekerja untuk menambah hartanya hingga ia tidak peduli lagi dari mana harta itu didapatkan, maka, sesungguhnya ia orang miskin, disebabkan karena ambisinya yang sangat besar.”
Oleh karena itu kekayaan sesungguhnya adalah kekayaan jiwa. Orang yang merasa cukup dengan pemberian Allah, tidak terlalu berambisi untuk menambah hartanya dan terus-menerus mencarinya, maka berarti ia orang yang kaya”

Al-Qurthubi berkata, “Hadis ini bermakna bahwa harta yang bermanfaat, agung dan terpuji adalah kekayaan jiwa.”
Dengan demikian, tidak selalu harta benda yang banyak itu mendatangkan kebahagian, kebaikan dan kesenangan bagi pemiliknya. Kekayaan yang sebenarnya adalah sesuatu yang manusia rasakan dalam hatinya. Hatilah yang menentukan seorang manusia menjadi senang atau sengsara, kaya atau miskin dan bahagia atau sedih. Pangkalnya ada dalam hati.
Hati yang takut kepada azab Allah, beriman, penuh rasa syukur dan cinta kepada Pemilik dan Pemberi rizki sebenarnyalah yang akan memperoleh kebaikan dan kebahagiaan dari harta yang dimilikinya, sebesar apapun harta tersebut.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang dunia adalah ambisinya, maka Allah akan menghancurkan kekuatannya, menjadikan kemiskinan di depan matanya dan dunia tidak akan datang kepadanya kecuali apa yang telah Allah takdirkan. Dan barangsiapa akhirat adalah tujuannya, maka Allah akan menguatkan urusannya, menjadikan kekayaannya pada hatinya dan dunia datang kepadanya dalam keadaan tunduk.” (HR Ibnu Majah)
Semoga Allah mengaruniakan kepada kita semua hati yang kaya, hati yang selalu bergantung dan bersandar kepada Dzat yang Mahakaya.
Wallahu a’lam

Muslim Nampak Miskin, Kafir Hidup Kaya


Mungkin pernah terbetik di dalam benak kita, kenapa kita yang seorang muslim, hidupnya jauh lebih sengsara, ketimbang mereka yang hidup di dalam kekafiran. Padahal seorang muslim hidup di atas keta’atan menyembah Allah ta’ala, sedangkan orang kafir hidup di atas kekufuran kepada Allah.
Wahai saudaraku seiman, janganlah heran dengan fenomena ini. Karena seorang shahabat Nabi yang mulia pun terheran sambil menangis. Beliau adalah ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu. Berikut ini kami nukilkan kisah ‘Umar yang termuat dalam kitab Tafsir Surat Yasin karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah.

Suatu hari ‘Umar mendatangi rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan beliau sedang tidur di atas dipan yang terbuat dari serat, sehingga terbentuklah bekas dipan tersebut di lambung beliau. Tatkala ‘Umar melihat hal itu, maka ia pun menangis. Nabi yang melihat ‘Umar menangis kemudian bertanya, “Apa yang engkau tangisi wahai ‘Umar?”
‘Umar menjawab, “Sesungguhnya bangsa Persia dan Roma diberikan nikmat dengan nikmat dunia yang sangat banyak, sedangkan engkau dalam keadaan seperti ini?”
Nabi pun berkata, “Wahai ‘Umar, sesungguhnya mereka adalah kaum yang Allah segerakan kenikmatan di kehidupan dunia mereka.”[1]
Di dalam hadist ini menunjukkan  bahwa orang-orang kafir disegerakan nikmatnya oleh Allah di dunia, dan boleh jadi itu adalah istidraj[2] dari Allah. Namun apabila mereka mati kelak, sungguh adzab yang Allah berikan sangatlah pedih. Dan adzab itu semakin bertambah tatkala mereka terus berada di dalam kedurhakaan kepada Allah ta’ala.
Maka saudaraku di jalan Allah, sungguh Allah telah memberikan kenikmatan yang banyak kepada kita, dan kita lupa akan hal itu, kenikmatan itu adalah kenikmatan Islam dan Iman. Dimana hal ini yang membedakan kita semua dengan orang kafir. Sungguh kenikmatan di dunia, tidaklah bernilai secuil pun dibanding kenikmatan di akhirat.
Mari kita bandingkan antara dunia dan akhirat, dengan membaca sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Demi Allah! Tidaklah dunia itu dibandingkan dengan akhirat, kecuali seperti salah seorang dari kalian yang mencelupkan jarinya ke lautan. Maka perhatikanlah jari tersebut kembali membawa apa?” (HR. Muslim)
Lihatlah kawanku, dunia itu jika dibandingkan dengan akhirat hanya Nabi misalkan dengan seseorang yang mencelupkan jarinya ke lautan, kemudian ia menarik jarinya. Perhatikanlah, apa yang ia dapatkan dari celupan tersebut. Jari yang begitu kecil dibandingkan dengan lautan yang begitu luas, mungkin hanya beberapa tetes saja.
Hadist di atas juga menunjukkan bahwa perhatiannya ‘Umar kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidak tega, hingga menangis melihat kondisi Nabi yang terlihat susah, sedangkan orang-orang kafir hidup di dalam kenikmatan dunia.
Sebagai penutup tulisan ini, akan saya petikkan kisah seorang hakim dari Mesir, beliau adalah Al-Hafizh Ibnu Hajr. Suatu hari Ibnu Hajr melewati seorang Yahudi yang menjual minyak zaitun, yang berpakaian kotor, dan Ibnu Hajr sedang menaiki kereta yang ditarik oleh kuda-kuda, yang dikawal oleh para penjaga di sisi kanan dan kiri kereta.
Kemudian Yahudi tersebut menghentikan kereta beliau dan berkata, “Sesungguhnya Nabi kalian telah bersabda, ‘Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan Surga bagi orang kafir[3] Engkau adalah Hakim Agung Mesir. Engkau dengan rombongan pengawal seperti ini, penuh dengan kenikmatan, sementara aku di dalam penderitaan dan kesengsaraan.”
Ibnu Hajr rahimahullah menjawab, “Aku dengan nikmat dan kemewahan yang aku rasakan ini dibandingkan dengan kenikmatan di Surga adalah penjara. Ada pun engkau dengan kesengsaraan yang engkau rasakan, dibandingkan dengan adzab yang akan engkau rasakan di Neraka dalah Surga.”
Orang Yahudi itu lalu berkata, “Aku bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah.” Masuk Islam lah orang Yahudi tersebut.

BANTAHAN SECARA GLOBAL TEORI PENYATUAN AGAMA

Oleh
Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid

Propaganda kepada teori penyatuan agama ini dibawah dukungan slogan-slogan tersebut, yaitu kepada penyatuan dienul Islam yang hak, yang menghapus syariat sebelumnya, dengan agama Yahudi dan Nasrani yang sudah dihapus atau diselewengkan, merupakan makar terbesar yang ditujukan kepada Islam dan kaum muslimin. Dalam hal ini Yahudi dan Nasrani bersatu padu dengan alasan yang sama, yaitu kebencian terhadap Islam dan kaum Muslimin. Mereka membungkusnya dengan slogan-slogan yang mentereng, yang pada hakikatnya adalah tipu daya muslihat dan dusta, target yang ingin dicapai sangat menakutkan dan mengerikan.


Menurut hukum Islam propaganda semacam itu adalah bid'ah, sesat dan kekufuran, langkah menuju dosa dan seruan kepada pemurtadan secara keseluruhan dan Islam. Propaganda tersebut sangat bertentangan dengan dasar-dasar akidah Islamiyah, merobek kehormatan para rasul dan kehormatan risalah ilahi, membatalkan kebenaran Al-Qur'an, membatalkan fungsi Al-Qur'an yang menghapus kitab-kitab suci sebelumnya, membatalkan fungsi Dienul Islam yang menghapus syariat-syariat sebelumnya dan membatalkan status Muhammad Rasulullah sebagai rasul penutup yang membawa risalah terakhir. Propaganda itu secara syar'i jelas betolak dan diyakini keharamannya berdasarkan seluruh sumber-sumber hukum dalam Islam, berdasarkan Al-Qur'an, As-Sunnah, Ijma' dan argumen-argumen yang tercakup dalam dalil-dalil syar'i tersebut.

Oleh sebab itu, seorang mukmin yang mengimani Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya, Muhammad sebagai rasulnya, tidak boleh menyambut seruan propaganda tersebut, tidak boleh ikut serta dalam seminar-seminar, perkumpulan, pertemuan dan yayasan serta organisasi mereka. Dan tidak boleh pula menisbatkan diri kepada indentitas mereka. Bahkan ia wajib membuangnya jauh-jauh, mewaspadainya dan takut terhadap akibat buruknya. Ia harus mencelanya, memusuhinya dan menunjukkan penolakannya secara terang-terangan serta mengenyahkannya dari negeri kaum muslimin, membasmi sampai ke akar-akarnya, menolak, mengucilkan dan membendungnya. Pemerintah muslim wajib menegakkan sanksi murtad terhadap pengikut propaganda tersebut, setelah terpenuhi syarat-syarat dan tidak ada lagi penghalang. Demi menjaga keutuhan agama dan sebagai peringatan terhadap orang-orang yang mempermainkan agama. Dan juga dalam rangka mentaati Allah dan rasulNya serta demi tegaknya syariat yang suci.

Pemikiran sesat seperti itu wajar saja diterima dengan baik oleh Yahudi dan Nasrani. Mereka memang pantas menerimanya. Sebab mereka tidak bersandar kepada syariat yang diturunkan, mereka hanya mengikuti yang batil dan telah banyak diselewengkan atau mengikuti yang hak namun telah dihapus oleh Dienul Islam. Demi Allah tidak demikian halnya dengan kaum muslimin. Mereka tidak boleh menisbatkan diri kepada pemikiran tersebut. Cukuplah bagi mereka mengikuti syari'at yang diturunkan Allah buat selama-lamanya. Apa saja yang ada di dalamnya adalah haq, realistis dan penuh kasih sayang.

Hendaknya setiap muslim mengetahui hakikat propaganda ini. Ia tidak lain hanyalah benih-benih filasafat yang tumbuh di alam politik dan kesudahannya adalah kesesatan. Muncul dengan mengenakan baju baru untuk memangsa korban dari kalangan kaum muslimin. Memangsa aqidah mereka, merampas tanah air mereka dan merenggut kekuasaan mereka. Target utama propaganda itu hanyalah Islam dan kaum muslimin dalam beberapa bentuk.

[1]. Menimbulkan fase kebimbangan terhadap Islam serta mengacau kaum muslimin. Menjebak kaum muslimin dengan jalan menebar syahwat dan syubhat. Sehingga pada akhirnya seorang muslim hidup di antara jiwa yang mengambang dan jiwa yang sadar.

[2]. Mendangkalkan cakupan Dienul Islam dan kandungannya.

[3]. Memunculkan kaidah-kaidah yang bertujuan menguliti dan mematikan ajaran Islam, melumpuhkan kaum muslimin, mencabut dan memupus akar keimanan dari dalam hati mereka.

[4]. Mengurai tali persaudaraan diantara kaum muslimin di seluruh negeri. Lalu menggantinya dengan persaudaraan baru yang terkutuk, yaitu persaudaraan Yahudi dan Nasrani.

[5]. Membungkam pena dan lisan kaum muslimin dari pengkafiran Yahudi, Nasrani serta orang-orang yang telah dikafirkan oleh Allah dan RasulNya karena tidak beriman kepada Islam dan tidak meninggalkan agama-agama mereka.

[6]. Bertujuan menghapus hukum-hukum Islam yang diwajibkan ata kaum muslimin terhadap Yahudi, Nasrani dan orang-orang kafir lainnya yang tidak beriman kepada Islam dan tidak meninggalkan agama-agama mereka.

Hendaknya setiap muslim mengetahui hakikat propaganda ini. Ia tidak lain hanyalah benih-benih filasafat yang tumbuh di alam politik dan kesudahannya adalah kesesatan. Muncul dengan mengenakan baju baru untuk memangsa korban dari kalangan kaum muslimin. Memangsa aqidah mereka, merampas tanah air mereka dan merenggut kekuasaan mereka. Target utama propaganda itu hanyalah Islam dan kaum muslimin dalam beberapa bentuk.

[7]. Bertujuan menahan kaum muslimin dari puncak kebaktian di dalam Islam yaitu jihad fi sabillaah. Diantaranya adalah berjihad melawan Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani. Memerangi mereka karena Islam dan memaksa mereka membayar jizyah jika mereka menolak masuk Islam.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) pada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk".[At-Taubah : 29]

Betapa jihad fi sabilillah melawan orang-orang kafir, musuh-musuh Allah dan rasulNya serta orang-orang yang beriman dapat membuat mereka gentar dan menyusupkan rasa takut dalam hati mereka. Dengan demikian dienul Islam dapat jaya dan musuh-musuh Islam akan terhina serta melegakkan dada kaum mukminin.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sangggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berpeang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu". [Al-Anfal : 60]

Sungguh sangat mengherankan kelengahan kaum muslimin terhadap kekuatan syar'i yang maha dahsyat ini! Betapa sangat mencengangkan juga kelengahan terhadap sikap mereka yang membawa bencana, memadamkan ruh jihad, anggapan keliru bahwa jihad hanyalah untul mempertahankan diri tidak untuk menundukkan orang-orang kafir supaya menerima Dienul Islam atau membayar jizyah jika mereka menolak masuk Islam, sikap mereka yang menamakan jihad sebagai aksi terorisme untuk menimbulkan kesan negative terhadapnya, sehingga di masa mendatang kaum muslimin mengoreksi pendirian mereka mewajibkanjizyah atas orang-orang kafir !

Kewajiban membayar jizyah atas Yahudi dan Nasrani bila mereka menolak masuk Islam merupakan kemuliaan bagi kaum muslimin dan kehinaan atas orang-orang kafir. Oleh karena itu sejak abada ke empat Hijriyah mereka telah berusahan menghapis jizyah ini. Surat pertama yang dipalsu oleh orang-orang Yahudi ditemukan pada abad keempat Hijriyah. Pemerintah dalam hal ini Khalifah menanyakan keaslian surat itu kepada para ulama. Imam Ahli Tafsir Muhammad bin Jarir Ath-Thabari rahimahullah (wafat pada tahun 310H) menetapkan bahwa suart itu adalah palsu ! Sebab didalamnya tercantum persaksian Mu'awiyah bin Abu Sufyan rahimahullah, sementara beliau masuk Islam pada hari penaklukan kota Makkah setelah peperangan Khaibar pada tahun 7 Hijriyah. Didalam surat itu tercantum bahwa jizyah telah dihapus atas orang-orang Yahudi pada waktu peperangan Khaibar. Di dalamnya juga terdapat persaksian Sa'ad bin Mu'adz Radhiyallahu 'anhu, padahal beliau telah wafat pada peperangan Khandaq sebelum peperangan Khaibar. Jadi jelaslah bahwa surat itu palsu belaka !

Orang-orang Yahudi senantiasa beragumentasi dengan surat palsu itu, namun para ulama tetap memutuskan bahwa surat itu palsu. Demikian juga yang terjadi pada masa Al-Khatib Al-Baghdadi (wafat pada tahu 463) beliau menolak mentah-mentah surat tersebut.

Kemudian mereka kembali mengeluarkan surat palsu itu pada masa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (wafat pada tahun 728). Akan tetapi beliau juga menolaknya. Demkianlah keadaannya. Penjelasan tentang masalah ini dapat pembaca temukan dalam buku Ahkam Ahli Dzimmah I/5-8 karangan Ibnul Qayyim rahimahullah (wafat pada tahun 751).

Kaum Nasrani juga memalsu sebuah piagam bernama piagam St Cahterine, yang ditempelkan di Dir Thursina. St Ctaherine atau Catherine adalah isteri dari salah seorang pendeta. Sebuah gereja di Dir Thursina dinamakan dengan namanya karena ia dikuburkan di sana pada abad ke sembilan.

Piagam itu adalah piagam dusta yang sengaja dibuat-buat oleh kaum Nasrani.

Di dalam majalah Ad-Daarah edidi III/Tahun 1400 hal.124-130 dicantumkan sebuah artikel yang sangat penting tentang beberapa piagam yang dibuat-buat oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani. Di antaranya adalah piagam tersebut. Penulisnya adalah Abdul Baqi berasal dari Universitas Qashantinah Aljazair.

Bukti lain yang memperkuat dustanya piagam tersebut adalah : Disebutkan di dalamnya persaksian Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu. Padahal Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu baru masuk Islam pada peperanga Khaibar tahun ke tujuh Hijriyah, sementara piagam itu tertangga; tahun kedua Hijriyah!!!

Silakan baca artikel tentang Dir Thursina yang pada abad ke sembilan diganti namanya menjadi Dir St Catehrine dalam buku : Al-Mausu'ah Al-Arabiyah Al-Muyassarah I/830, Al-Munjid [1] pada materi Dir Thursina, Mu'jamulun Buldan pada materi Dir Thursina dan Al-Munjid Fil A'lam hal.295

[8]. Propaganda tersebut juga bertujuan merubuhkan kaidah dasar Dienul Islam, yaitu kaidah Al-Wala' dan Al-Bara', suka dan benci karena Allah. Propaganda penyatuan agama ini berfungsi untuk mematahkan sikap berlepas diri kaum musilimin terhadap orang-orang kafir, keterpisahan kaum muslimin dari mereka, menyatakan terang-terangan kebencian dan permusuhan terhadap mereka, menjauhkan diri dari berwala' (loyal) kepada mereka, mencintai ataupun bersahabat karib dengan mereka ! Semua itu dipatahkan oleh proganda ini !

[9]. Bertujuan memunculkan pemikiran dan sikap anti agama Islam berselubung dibalik slogan persatuan agama-agama. Memisahkan umat Islam dari agama, menjauhkan syariat yang tertuang dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dari kehidupan mereka. Dengan begitu mereka lebih leluasa menggiring kaum muslimin kepada pemikiran-pemikiran jahiliyah dan moral yang bejat. Memisahkan mereka dari pilar-pilar penyangga sehingga mereka tidak pantas dikandidatkan sebagai pemimpin ataupun penguasa. Sehingga kaum muslimin hanya bisa menerima dan membeo apa yang disuarakan oleh musuh-musuh mereka, musuh-musuh agama mereka ! Pada akhirnya sampailah kepada target utama : Menaklukkan dunia tanpa perlawanan !

[10]. Bertujuan memadamkan inti ajaran Islam, keunggulan dan kejayaan serta keistimewaannya. Dengan menempatkan Dienul Islam yang terjaga dari segala bentuk penyelewengan dan perubahan setara dengan agama-agama lain yang telah diselewengkan dan dihapus. Bahkan mensejajarkannya dengan keyakinan-keyakinan paganisme lainnya.

[11]. Berusaha memepermulus jalannya program-program kristenisasi dengan merubuhkan benteng aqidah kaum muslimin serta memadamkan api perlawanan kaum muslimin terhadap mereka setelah melemah kaum muslimin dan menurunnya tingkat kedewasaan berpikir mereka.

[12]. Kemudian target utamanya adalah : Melebarkan sayap kekuasaan orang-orang kafir, Yahudi, Nasrani dan orang-orang komunis di seluruh dunia, khususnya terhadap dunia Islam dan lebih khusus lagi terhadap dunia Arab dan terutama sekali terhadap pusat dunia Islam dan ibu kotanya, yaitu Jazirah Arab [2]. Dengan sebuah konspirasi yang dirancang oleh umat-umat kafir secara matang demi menggempur Islam dan kaum muslimin dengan segala macam acara. Mulai dari bidang pemikiran, kebudayaan, ekonomi, politik, dengan menggulirkan pasar bebas yang tidak berhukum dengan hukum Islam, tidak ada kepatuhan dan ketaatan kepada akhlak mulia dan nilai-nilai keutamaan, tidak tertarik mencari usaha yang halal, sehingga praktek riba menjamur di mana-mana, kejahatan merajalela di setiap tempat, hati nurani dan akal sehatpun lumpuh, kekuatan jahat semakin menguat dalam menghadapi setiap perkara yang sejalan dengan fitnah insani dan syariat yang lurus. Buktinya adalah diselenggarakannya mukatamar kependudukan dan perkembangan penduduk di Kairo pada tanggal 29/3/1415, muktamar perempuan Internasional di Peking (Beijing) pada tahun 1416, ide tersebut tidak lain merupakan usaha untuk memuluskan target di atas.

Itulah beberapa target dan tujuan propaganda keji itu ! Dan merupakan musibah yang lebih besar lagi, adanya segelintir oknum dari kalangan kaum muslimin dan orang-orang yang mengaku muslim menyambut positif propaganda tersebut!! Bahkan mendukung terselenggaranya muktamar-mukatamar yang mereka adakan. Sehingga gaungnya menjadi lebih luas, berlomba-lomba menyambut seruan keji dan konspirasi jahat orang-orang kafir tersebut. Sehingga muncullah ide gila dari seorang yang mengaku muslim, yaitu menerbitkan sebuah kitab yang terangkum di dalamnya tiga kitab suci dalam satu jilid, Al-Qur'an, Taurat dan Injil.

Sungguh, kita tentunya sering membaca firman Allah subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Itu hanyalah cobaan dari Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki". [Al-Araaf : 155]

Sebagaimana dimaklumi pintu ijtihad dan takwil terbuka luas yang bukan mustahil dapat menyebabkan pelakunya meyakini perkara yang halal menjadi haram dan perkara yang haram menjadi halal ![3] Hal itu jika ijtihad dan takwil tersebut masih tergolong boleh ! Bagaimana pula bila keduanya tidak bibolehkan !? Maka ijtihad tersebut termasuk ijtihad keji yang bertentangan dengan dasar-dasar aqidah dalam Islam yang sudah dimaklumi secara luas. Walau bagaimanapun juga, tidaklah dibolehkan meninggalkan As-Sunnah dan petunjuk nabi ! Dan wajib hukumnya menolak ijtihad dan takwil yang keliru, apalagi jika tergolong sesat ! Sebaliknya, wajib hukumnya memelihara Dienul Islam dan menepis bentuk-bentuk kejahatan terhadapnya. Hal itu merupakan hak Islam yang wajib dipenuhi dan merupakan konsekuensi ilmu dan iman !

Propaganda ini, mulai dari asal usulnya, slogannya, hakikatnya merupakan musibah terbesar atas kaum muslimin pada hari ini. Merupakan kekufuran yang sangat parah, mencampur adukan Islam dengan kekufuran, hak dengan batil, petunjuk dengan kesesatan, ma'ruf dengan mungkar, sunnah dengan bid'ah serta ketaatan dengan maksiat !

Terangkum dalam propaganda keji dan maker jahat ini penyelewengan, kebatilan dan takwil sesat. Umat yang penuh rahmat ini, umat Islam, tidak akan bersepakat di atas kesesatan ! Dan akan senantiasa ada segolongan umat dari kalangan ahli ilmu dan Al-Qur'an, orang-orang yang berada di atas petunjuk yang selalu membela kebenaran hingga Hari Kiamat kelak. Yang menepis penyimpangan orang-orang melampui batas, pemalsuan ahli batil dan takwil orang-orang jahil. Maka sudah menjadi kewajiban bagi segenap kaum muslimin untuk mengajarkan dan menjelaskan kebenaran, memberi nasihat dan bimbingan serta menumpas segala bentuk kejahatan terhadap Islam. Barangsiapa memberi peringatan maka ia telah memberi kabar gembira!

Itulah bantahan secara global terhadap propaganda yang sangat berbahaya itu. Demikianlah garis-garis kerja jangka panjang dan jangka pendek propaganda ini dalam usaha mengahancurkan dan merusak demi menguasai dunia tanpa perlawanan.

Kesimpulannya, propaganda kepada penyatuan agama Islam dengan agama-agama lainnya yang telah menyimpang dan dihapus dengan syari'at Islam merupakan : kemurtadan yang nyata dan kekufuran yang jelas. Karena secara berani dan terang-terangan propaganda itu telah mencabut sendi-sendi Dienul Islam, baik dalam aspek aqidah, amaliyah dan lainnya. Hukum ini merupakan kesepakatan yang tidak boleh diselisihi oleh kaum muslimin. Propadanda ini merupakan kancah peperangan baru melawan kaum salibis dan melawan manusia yang keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman, yaitu Yahudi. Ini adalah perkara yang sangat serius, bukan main-main!

Berikutnya saya akan membawakan dalil-dalil secara terperinci bagi hukum global di atas. Sebab orang-orang tentu ingin agar hukum ini didukung dengan dalil dan keterangan yang nyata, yang menjelaskan hujjah bagi orang-orang yang mencari. Simaklah penjelasan berikut secara terperinci hingga permasalahannya menjadi gamblang bagi setiap muslim yang tentunya selalu membaca kalam ilahi agar ia terlepas dari kebingungan dibawah gemerlap slogan-slogan dusta ! Simaklah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala berikut.

"Artinya : Itulah ayat-ayat Allah yang Kami membacakannya kepadamu dengan sebenarnya ; maka dengan perkataan manakah lagi mereka akan beriman sesudah (kalam) Allah dan keterang-keteranganNya". [Al-Jatsiyah : 6]

[Disalin dari kitab Al-Ibthalu Linazhariyyatil Khalthi Baina Diinil Islaami Wa Ghairihii Minal Adyan, edisi Indonesia Propaganda Sesat Penyatuan Agama, Oleh Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid, Terbitan Darul Haq]
_________
Foote Note
[1] Buku Al-Munjid dan Munjid Fil A'lam termasuk buku karangan kaum Nasrani. Saya sengaja menyebutkannya sebagai argumentasi terhdap mereka. Karena bagi kita cukuplah buku-buku yang dikarang oleh ulama Islam dahulu dan sekarang, walhamdulillah. Untuk lebih jelasnya silakan baca kitab Atsarat Al-Munjid (kesalahan-kesalahan dalam yang terdapat dalam Al-Munjid) karangan Syaikh Ibrahim Al-Qaththan rahimahullah.
[2] Saya telah menulis sebuah kitab khusus berjudul Khashaa'is Jazirah Arab, Pertahanan Dan Jaminan Keamanannya.
[3] Silakan lihat Majmu Fatawa 21/62-65

PROPAGANDA PENYATUAN AGAMA

Oleh
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta


Segala puji hanyalah milik Allah semata, shalawat dan salam semoga tercurah atas rasul penutup yang tiada rasul sesudahnya, atas keluarga dan segenap sahabat serta orang-orang yang mengikuti beliau hingga hari kemudian kelak.

Amma ba’du.
Sesungguhnya Lajnah Da’imah bagian divisi pembahasan ilmiah dan fatwa menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang dilayangkan kepada lajnah tentang beberapa pemikiran dan makalah yang ramai dirilis di media-media informasi seputar permasalahan seruan kepada penyatuan agama, agama Islam, agama Yahudi dan agama Nasrani, serta beberapa persoalan-persoalan yang merupakan dampak dari seruan itu, seperti masalah pembangunan masjid, gereja dan tempat peribadatan yahudi dalam satu komplek, di lingkungan universitas, pelabuhan udara dan tempat-tempat umum. Berikut juga seruan mencertak Al-Qur’an Al-Karim dengan Taurat dan Injil dalam satu jilid. Dan masih banyak lagi dampak propaganda penyatuan agama tersebut. Demikian pula seminar-seminar, perkumpulan-perkumpulan dan yayasan-yayasan di barat dan di timur yang diselenggarakan dan didirikan untuk tujuan tersebut. Setelah mempelajari dan menelitinya maka Lajnah Daimah memutuskan :


1. Termasuk kaidah dasar aqidah Islamiyah yang dimaklumi dan disepakati segenap kaum muslimin adalah tidak ada agama yang benar di atas muka bumi selain Dienul Islam. Dienul Islam adalah penutup seluruh agama-agama yang ada. Dan menghapus agama, syari'at dan millah sebellumnya. Tidak ada satu agamapun di atas muka bumi yang boleh dipakai sebagai tatanan beribadah kepada Allah selain Dienul Islam.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Barangsiapa mencari agama selain daru agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi" [Ali Imron : 85]

Yaitu Islam yang dibawa oleh Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah diutus menjadi rasul, tidak agama-agama selainnya !

2. Diantara kaidah dasar aqidah Islamiyah adalah meyakini bahwa Kitabullah, yaitu Al-Qur'an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan Allah Rabbul Alamin. Meyakini bahwa Al-Qur'an menghapus kitab-kitab sebelumnya, seperti Taurat, Zabur, Injil dan lainnya, sebagai standar kebenaran kitab-kitab sebelumnya. Tidak ada satupun kitab suci yang berhak dipakai sebagau acuan dalam beribadah kepada Allah selain Al-Qur'an Al-Karim.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu : maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah dating kepadamu" [Al-Ma'idah : 48]

3. Wajib mengimani bahwa kitab Taurat dan Injil telah dihapus dengan Al-Qur'an Al-Karim, wajib meyakini bahwa keduanya telah banyak diselewengkan dan dirubah, ditambah dan dikurangi.

Sebagaimana ditegaskan dalam ayat-ayat Al-Qur'an, diantaranya firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Tetapi karena mereka melanggar janjinya. Kami kutuk mereka, dan kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat)" [Al-Maidah : 13]

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya : "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan" [Al-Baqarah : 79]

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al-Kitab, supaya kamu menyangka apa yang dibacanya itu sebagian dari Al-Kitab., padahal ia bukan dari Al-Kitab dan mereka mengatakan : 'Ia (yang dibaca itu dating) dari sisi Allah', padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah, sedang mereka mengetahui" [Ali Imran : 78]

Oleh karena itu, isi Taurat ataupun Injil yang masih orosinil telah dihapus dengan Islam, adapun selain itu telah diselewengkan dan dirubah-rubah. Telah diriwayatkan secara shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau sangat marah ketika meihat Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu memegang lembaran yang didalamnya terdapat beberapa potongan ayat Taurat, beliau berkata.

"Artinya : Apakah engkau masih ragu wahai Ibnul Khaththab ? Bukankah aku telah membawa agama yang putih bersih ? Sekiranya saudaraku Musa Alaihis salam hidup sekarang ini maka tidak ada keluasan baginya kecuali mengikuti syariatku" [Hadits Riwayat Ahmad, Ad-Darimi dan lainnya]

4. Termasuk diantara kaidah dasar aqidah Islamiyah adalah meyakini bahwa Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah penutup para nabi dan rasul, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari sorang laki-laki diantara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi" [Al-Ahzab : 40]

Tidak ada satupun rasul yang wajib diikuti selain nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, sekiranya seorang nabi atau rasul selain beliau hidup pada saat ini maka tidak ada keluasan bagi mereka kecuali mengikuti beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak ada keluasan juga bagi para pengikut mereka kecuali mengikuti beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Sebagaimana ditegaskan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firmanNya berikut ini.

"Artinya : Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi : 'Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian dating kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan bersungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya'. Allah berfirman 'Apakah kamu mengakui dan menerima pernjanjianKu terhadap yang demikian itu'. Mereka menjawab : 'Kami mengakui'. Allah berfirman : 'Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saki (pula) bersama kamu' "[Ali Imran : 81]

Nabi Allah Isa Alaihis Salam saat diturunkan pada akhir zaman juga mengikuti nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berhukum dengan syari'at beliau. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : (Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) merek dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka" [Al-A'raf : 157]

Termasuk kaidah dasar aqidah Islamiyah tersebut adalah meyakini bahwa Nabi Muhammad diutus kepada segenap umat manusia. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui" [Saba : 28]

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Katakanlah : 'Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua" [Al-A'raf : 158]

5. Diantara kaidah dasar agama Islam adalah wajib meyakini kekufuran orang-orang yang menolak memeluk Islam dari kalangan Yahudi, Nasrani maupun yang lainnya. Wajib menamai mereka kafir, meyakini bahwa mereka adalah musuh Allah, rasulNya dan kaum mukminin serta meyakini bahwa mereka adalah penduduk Neraka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata" [Al-Bayyinah : 1]

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke naar Jahannam ; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk mahluk" [Al-Bayinnah : 6]

Dan yang tersebut dalam ayat-ayat lainnya. Dalam Shahih Muslim diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, tidak ada seorangpun dari umat manusia yang mendengar kerasulanku, baik ia seorang Yahudi maupun Nasrani lalu mati dalam keadaan belum beriman kepada ajaran yang kubawa melainkan ia pasti termasuk penuduk Neraka"

Oleh karena itu pula barangsiapa tidak mengkafirkan Yahudi dan Nasrani maka dia kafir. Sebagai konsekuensi kaidah syariat.

"Barangsiapa tidak megkafirkan orang kafir maka ia kafir"

6. Berdasarkan kaidah-kaidah dasar aqidah Islamiyah tersebut dan berdasarkan hakikat syariat di atas maka propaganda penyatuan agama dan menampilkannya dalam satu kesatuan adalah propaganda dan maker yang sangat busuk. Misi propaganda itu adalah mencampur adukkan yang hak dengan yang batil, merubuhkan Islam dan meghancurkan pilar-pilarnya serta menyeret pemeluknya kepada lkemurtadan.

Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala

"Artinya : Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup" [Al-Baqarah : 217]

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka)" [An-Nisa : 89]

7. Diantara dampak negative propaganda keji tersebut adalah hilangnya pembeda antara Islam dengan kekufuran, yang haq dengan yang batil, yang ma'ruf dengan yang mungkar, dan hilangnya kebencian antara kaum musilimin dan kaum kafir. Tidak ada lagi wala' dan bara' ! Tidak ada lagi seruan jihad dan perang demi menegakkan Kalimatullah di atas muka bumi, sedangkan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) pada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah Dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk" [At-Taubah : 29]

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artnya : Dan perangilah musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi semuanya ; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa" [At-Taubah : 36]

8. Apabila propaganda penyatuan agama bersumber dari seorang muslim maka hal itu jelas termasuk kemurtadan dari agama Islam, karena jelas-jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar aqidah. Propaganda tersebut meridhai kekufuran terhadap Allah, membatalkan kebenaran Al-Qur'an, membatalkan fungsinya sebagai penghapus kitab-kitab suci sebelumnya, membatalkan fungsi Islam yang menghapus syariat-syariat dan agama-agama sebelumnya. Berdasarkan hal tersebut maka pemikiran tersebut secara syar'i tertolak, haram hukumnya berdasarkan dalil-dalil syar'i dari Al-Qur'an, As-Sunnah dan Ijma.

9. Berdasarkan uraian diatas maka.
a). Seorang muslim yang mengimani Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya, Muhammad sebagai nabi dan rasulNya tidak boleh mengajak orang kepada pemikiran keji tersebut. Tidak boleh pula mendorong orang lain kepadanya dan menggulirkannya di tengah-tengah kaum muslimin. Apalagi menyambutnya, mengikuti seminar-seminar dan pertemuan-pertemuan atau menggabungkan diri dalam perkupulan-perkumpulannya.

b). Tidak dibenarkan bagi setiap muslim mencetak Taurat dan Injil, apalagi mencetaknya bersama dengan Al-Qur'an dalam satu jilid ! Barangsiapa melakukannya maka ia telah jauh tersesat. Karena hal itu berarti mecampuradukkan kebenaran (Al-Qur'an) dengan kitab yang telah diselewengkan atua dihapus (Taurat dan Injil).

c). Setiap muslim tidak dibenarkan menyambut ajakan membangun masjid, gereja dan ma'bad (tempat peribadatan Yahudi) dalam satu komplek. Karena hal itu berarti pengakuan bagi agama selain Islam, menghambat tegaknya dienul Islam atas agama-agama lainnya, dan secara tidak langsung merupakan statemen bahwa agama yang sah itu ada tiga dan pernyataan bahwa dan pernyataan bahwa penduduk ketiga agama itu sama dan bahwasanya Islam tidak menghapus agama-agama sebelumnya.

Tentu saja pengakuanm keyakinan dan kerelaan kepada hal semacam itu termasuk kekufuran dan kesesatan, serta sangat bertentangan dengan nash-nash Al-Qur'an yang sangat jelas, As-Sunnah yang shahih dan ijma' kaum muslimin. Secara tidak langsung hal itu juga merupakan pengakuan bahwa penyelewengan yang dilakukan orang-orang Yahudi da Nasrani itu berasal dari Allah ! Maha Tinggi Allah dari hal itu ! sebagaimana juga tidak dibenarkan menyebut gereja sebagai rumah Allah ! Atau mengatakan bahwa ibadah kaum Nasrani kepada Allah di gereja-gereja tersebut diterma di sisi Allah ! Sebab ibadah mereka itu tidak berdasarkan ajaran Islam, sedang Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirrat termasuk orang-orang yang rugi" [Ali Imran : 85]

Gereja-gereja itu adalah rumah kekufuran, kita berlindung kepada Allah dari kekufuran dan orang-orang kafir ! Dalam Majmu Fatawa (22/162) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata : "Gereja-gereja dan bi'ah (biara-biara) itu bukanlah rumah Allah. Rumah Allah itu hanyalah masjid. Namun gereja dan biara itu adalah rumah kekufuran, meskipun nama Allah disebut di dalamnya. Rumah itu tergantung kepada pemiliknya, dan pemiliknya adalah orang-orang kafir, maka gereja-gereja itu adalah rumah peribadatan orang-orang kafir".

10. Satu hal yang mesti diketahui adalah mendakwahi orang-orang kafir, khususnya ahli kitab adalah kewajiban kaum muslimin, berdasarkan nash-nash yang jelas dari Al-Qur'an dan As-Sunah. Hendaknya dakwah tersebut dilakukan lewat penjelasan dan dialog dengan cara yang terbaik serta tidak meninggalkan prinsip-prinsip Islam. Hal itu dilakukan agar mereka menerima Islam dan bersedia memeluknya atau dalam rangka menegakkan hujjah atas mereka. Agar orang yang binasa maka ia binasa di atas keterangan yang nyata, dan siapa yang hidup maka ia hidup di atas keterangan yang nyata pula.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Katakanlah : 'Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kaimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita pesekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Ilah selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka : 'Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)" [Ali Imran : 64]

Adapun dialog, perdebatan ataupun pertemuan dengan mereka hanya untuk mentolerir keinginan mereka, melempangkan misi mereka, mengurai simpul Islam dan mencabut akar keimanan maka hal itu adalah batil, tidak dikehendaki Allah, rasulNya dan kaum mukminin. Dan Allah sajalah yang dimohon pertolonganNya terhadap apa yang kamu bicarakan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu" [Al-Maidah : 49]

Dengan demikian Lajnah menegaskan dari menjelaskan kepada kaum muslimin, Lajnah berpesan kepada kaum muslimin umumnya dan kepada ahli ilmu khususnya agar selalu bertakwa kepada Allah dan tetap muraqabatullah (mendekatkan diri kepada Allah). Hendaknya mereka selalu melindungi Islam dan menjaga aqidah kaum muslimin dari kesesatan dan dari penyeru-penyerunya, melindungi kaum muslimin dari kekufuran dan orang-orang kafir. Dan hendaknya memperingatkan mereka dari bahaya Propaganda Sesat Penyatuan Agama yang kufur ini ! Agar mereka tidak terjerat ke dalam jaring-jaringnya. Kita memohon perlindungan kepada Allah agar seorang muslim tidak menjadi sebab masuknya kesesatan ini ke negeri kaum muslimin dan tidak menyebarkannya ke tengah-tengah mereka.

Hanya kepada Allah kita memohon, dengan asma-asmaNya yang husna dan sifat-sifatNya yang 'Ula, agar melindungi kita semua dari fitnah-fitnah yang menyesatkan dan agar menjadikan kita sebagai juru penunjuk kepada hidayah dan sebagai pelindung Dienul Islam di atas cahanya hidayah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala hingga kita bertemu denganNya dalam keadaan ridha kepada kita.

Shalawat dan salam semoga tercurah atas nabi kita Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, atas keluarga dan segenap sahabat beliau.

Wabillahi taufiq

Lajnah Daimah Lil Buhuts Ilmiah Wal Ifta
Fatwa No. 19402 tertanggal 25/1/1418H

Ketua
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Wakil Ketua
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Muhammad Ali Syaikh

Anggota
Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

LUAS DAN SEMPIT REZEKI

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Risalah berikut akan sedikit berbicara tentang masalah rizki. Nasehat ini pun tidak perlu jauh-jauh ditujukan pada orang lain. Sebenarnya yang lebih pantas adalah nasehat ini ditujukan pada diri kami sendiri supaya selalu bisa ridho dengan takdir ilahi dalam hal rizki.
Ayat yang patut direnungkan adalah firman Allah Ta’ala,
فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ (15) وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ (16)
Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Maka Dia akan berkata: "Tuhanku telah memuliakanku". Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya Maka Dia berkata: "Tuhanku menghinakanku". (QS. Al Fajr: 15-16)

Penjelasan Para Ulama
Ath Thobari rahimahullah menjelaskan, “Adapun manusia ketika ia diuji oleh Rabbnya dengan diberi nikmat dan kekayaan, yaitu dimuliakan dengan harta dan kemuliaan serta diberi nikmat yang melimpah, ia pun katakan, “Allah benar-benar telah memuliakanku.” Ia pun bergembira dan senang, lantas ia katakan, “Rabbku telah memuliakanku dengan karunia ini.”[1]
Kemudian Ath Thobari rahimahullah menjelaskan, “Adapun manusia jika ia ditimpa musibah oleh Rabbnya dengan disempitkan rizki, yaitu rizkinya tidak begitu banyak, maka ia pun katakan bahwa Rabbnya telah menghinakan atau merendahkannya. Sehingga ia pun tidak bersyukur atas karunia yang Allah berikan berupa keselamatan anggota badan dan rizki berupa nikmat sehat pada jasadnya.”[2]
Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas, “Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala mengingkari orang yang keliru dalam memahami maksud Allah meluaskan rizki. Allah sebenarnya menjadikan hal itu sebagai ujian. Namun dia menyangka dengan luasnya rizki tersebut, itu berarti Allah memuliakannya. Sungguh tidak demikian, sebenarnya itu hanyalah ujian. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
أَيَحْسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِهِ مِنْ مَالٍ وَبَنِينَ نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ بَل لا يَشْعُرُونَ
Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (QS. Al Mu’minun: 55-56)
Sebaliknya, jika Allah menyempitkan rizki, ia merasa bahwa Allah menghinangkannya. Sebenarnya tidaklah sebagaimana yang ia sangka. Tidaklah seperti itu sama sekali. Allah memberi rizki itu bisa jadi pada orang yang Dia cintai atau pada yang tidak Dia cintai. Begitu pula Allah menyempitkan rizki pada pada orang yang Dia cintai atau pun tidak.  Sebenarnya yang jadi patokan ketika seseorang dilapangkan dan disempitkan rizki adalah dilihat dari ketaatannya pada Allah dalam dua keadaan tersebut. Jika ia adalah seorang yang berkecukupan, lantas ia bersyukur pada Allah dengan nikmat tersebut, maka inilah yang benar. Begitu pula ketika ia serba kekurangan, ia pun bersabar.”[3]
Antara Mukmin dan Kafir
Sifat yang disebutkan dalam surat ini (Al Fajr ayat 15-16) adalah sifat orang kafir. Maka sudah patut untuk dijauhi oleh seorang muslim.
Al Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Sifat yang disebutkan dalam (Al Fajr ayat 15-16) adalah sifat orang kafir yang tidak beriman pada hari berbangkit. Sesungguhnya kemuliaan yang dianggap orang kafir adalah dilihat pada banyak atau sedikitnya harta. Sedangkan orang mukmin, kemuliaan menurutnya adalah dilihat pada ketaatan pada Allah dan bagaimana ia menggunakan segala nikmat untuk tujuan akhirat. Jika Allah memberi rizki baginya di dunia, ia pun memuji Allah dan bersyukur pada-Nya.”[4]
Syukuri dan Bersabar
Pahamilah! Tidak perlu merasa iri hati dengan rizki orang lain. Kita dilapangkan rizki, itu adalah ujian. Kita disempitkan rizki, itu pula ujian. Dilapangkan rizki agar kita diuji apakah termasuk orang yang bersyukur atau tidak. Disempitkan rizki agar kita diuji termasuk orang yang bersabar ataukah tidak. Maka tergantung kita dalam menyikapi rizki yang Allah berikan. Tidak perlu bersedih jika memang kita tidak ditakdirkan mendapatkan rizki sebagaimana saudara kita. Allah tentu saja mengetahui manakah yang terbaik bagi hamba-Nya. Cobalah pula kita perhatikan bahwa rizki dan nikmat bukanlah pada harta saja. Kesehatan badan, nikmat waktu senggang, bahkan yang terbesar dari itu yaitu nikmat hidayah Islam dan Iman, itu pun termasuk nikmat yang patut disyukuri. Semoga bisa jadi renungan berharga.
Ya Allah, karuniakanlah pada kami sebagai orang yang pandai besyukur dan bersabar pada-Mu dalam segala keadaan, susah maupun senang.

Sungguh nikmat diberikan taufik untuk merenungkan Al Qur’an. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.



[1] Tafsir Ath Thobari, Ibnu Jarir Ath Thobari, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1420 H, 24/412
[2] Idem.
[3] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muassasah Qurthubah, 14/347
[4] Al Jaami’ li Ahkamil Qur’an, Al Qurthubi, Tahqiq: Dr. ‘Abdullah bin Al Hasan At Turki, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1427 H, 22/.

KESEMPURNAAN ISLAM DAN BAHAYA BID'AH ( 4/4 )

Oleh
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin


Bagian Terakhir dari Empat Tulisan [4/4]

Syarat Yang Harus Dipenuhi Dalam Ibadah
Perlu diketahui bahwa mutaba'ah (mengikuti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) tidak akan tercapai kecuali apabila amal yang dikerjakan sesuai dengan syari'at dalam enam perkara.

Pertama : Sebab.
Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak disyari'atkan, maka ibadah tersebut adalah bid'ah dan tidak diterima (ditolak). Contoh : Ada orang yang melakukan shalat tahajud pada malam dua puluh tujuh bulan Rajab, dengan dalih bahwa malam itu adalah malam Mi'raj Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (dinaikkan ke atas langit). Shalat tahajud adalah ibadah, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut menjadi bid'ah. Karena ibadah tadi didasarkan atas sebab yang tidak ditetapkan dalam syari'at. Syarat ini -yaitu : ibadah harus sesuai dengan syari'at dalam sebab - adalah penting, karena dengan demikian dapat diketahui beberapa macam amal yang dianggap termasuk sunnah, namun sebenarnya adalah bid'ah.

Kedua : Jenis.
Artinya : ibadah harus sesuai dengan syari'at dalam jenisnya. Jika tidak, maka tidak diterima. Contoh : Seorang yang menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyalahi ketentuan syari'at dalam jenisnya. Yang boleh dijadikan kurban yaitu unta, sapi dan kambing.

Ketiga : Kadar (Bilangan).
Kalau seseorang yang menambah bilangan raka'at suatu shalat, yang menurutnya hal itu diperintahkan, maka shalat tersebut adalah bid'ah dan tidak diterima, karena tidak sesuai dengan ketentuan syari'at dalam jumlah bilangan rakaatnya. Jadi, apabila ada orang shalat zhuhur lima raka'at, umpamanya, maka shalatnya tidak sah.

Keempat : Kaifiyah (Cara).
Seandainya ada orang berwudhu dengan cara membasuh tangan, lalu muka, maka tidak sah wudhunya karena tidak sesuai dengan cara yang ditentukan syari'at.

Kelima : Waktu.
Apabila ada orang yang menyembelih binatang kurban pada hari pertama bulan Dzul Hijjah, maka tidak sah, karena waktu melaksanakannya tidak menurut ajaran Islam.

Saya pernah mendengar bahwa ada orang bertaqarub kepada Allah pada bulan Ramadhan dengan menyembelih kambing. Amal seperti ini adalah bid'ah, karena tidak ada sembelihan yang ditujukan untuk bertaqarrub kepada Allah kecuali sebagai kurban, denda haji dan akikah. Adapun menyembelih pada bulan Ramadhan dengan i'tikad mendapat pahala atas sembelihan tersebut sebagaimana dalam Idul Adha adalah bid'ah. Kalau menyembelih hanya untuk memakan dagingnya, boleh saja.

Keenam : Tempat.
Andaikata ada orang beri'tikaf di tempat selain masjid, maka tidak sah i'tikafnya. Sebab tempat i'tikaf hanyalah di masjid. Begitu pula, andaikata ada seorang wanita hendak beri'tikaf di dalam mushalla di rumahnya, maka tidak sah i'tikafnya, karena tempat melakukannya tidak sesuai dengan ketentuan syari'at, Contoh lainnya : Seseorang yang melakukan thawaf di luar Masjid Haram dengan alasan karena di dalam sudah penuh sesak, tahawafnya tidak sah, karena tempat melakukan thawaf adalah dalam Baitullah tersebut, sebagaimana firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf". [Al-Hajj : 26].

Kesimpulan dari penjelasan di atas, bahwa ibadah seseorang tidak termasuk amal shaleh kecuali apabila memenuhi dua syarat, yaitu :

Pertama : Ikhlas
Kedua : Mutaba'ah.

Dan Mutaba'ah tidak akan tercapai kecuali dengan enam perkara yang telah diuraikan tadi.

Penutup
Penulis berpesan kepada mereka yang terjerat dalam cobaan bid'ah, yang kemungkinan mempunyai tujuan baik dan menghendaki kebaikan, apabila anda memang menghendaki kebaikan maka -demi Allah- tidak ada jalan yang lebih baik daripada jalan para Salaf (generasi pendahulu) Radhiyallahu 'anhum.

Pegang teguhlah sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, ikutilah jejak para salaf shaleh, dan perhatikanlah apakah hal itu akan merugikan anda .?

Dan kami katakan, dengan sesungguhnya, bahwa anda akan mendapatkan kebanyakan orang yang suka mengerjakan bid'ah merasa enggan dan malas untuk mengerjakan hal-hal yang sudah jelas diperintahkan dan disunnahkan. Jika mereka selesai melakukan bid'ah, tentu mereka menghadapi sunnah yang telah ditetapkan dengan rasa engggan dan malas. Itu semua merupakan dampak dari bid'ah terhadap hati.

Bid'ah, besar dampaknya terhadap hati dan amat berbahaya bagi agama. Tidak ada suatu kaum melakukan bid'ah dalam agama Allah melainkan mereka telah pula menghilangkan dari sunnah yang setara dengannya atau melebihinya, sebagaimana hal ini dinyatakan oleh seorang ulama salaf.

Akan tetapi apabila seseorang merasa bahwa dirinya adalah pengikut dan bukan pembuat syari'at, maka akan tercapai olehnya kesempurnaan takut, tunduk, patuh dan ibadah kepada Rabbul 'alamien serta kesempurnaan ittiba' (keikutsertaan) kepada Imamul Muttaqin, Sayyidul Mursalin, Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Penulis berpesan kepada saudara-saudara kaum Muslimin yang menganggap baik sebagian dari bid'ah, baik yang berkenan dengan dzat, asma' dan sifat Allah, atau yang berkenan dengan pribadi dan pengagungan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, hendaklah mereka takut kepada Allah dan menghindari hal-hal semacam itu. Beramalllah dengan didasari ikhlas dan sunnah, bukan syirik dan bid'ah ; menurut apa yang diridhai Allah, bukan apa yang disenangi syaitan. Dan hendaklah mereka memperhatikan apakah yang dapat dicapai oleh hati mereka, berupa keselamatan, kehidupan, ketenangan, kebahagian dan nur yang agung.

Semoga Allah menjadikan kita sebagai penunjuk jalan yang mendapat petunjuk-Nya dan pemimpin yang membawa kebaikan, memerangi hati kita dengan iman dan ilmu, menjadikan ilmu yang kita miliki membawa berkah dan bukan bencana. Serta semoga Allah membimbing kita kepada jalan para hamba-Nya yang beriman, menjadikan kita termasuk para auliya-Nya yang bertakwa dan golongan-Nya yang beruntung.

Shalawat dan salam semoga tetap dilimpahkan Allah kepada Nabi Kita, Muhammad, kepada keluarga dan para sahabatnya.

[Disalin dari buku Al-Ibdaa' fi Kamaalisy Syar'i wa Khatharil Ibtidaa' edisi Indonesia Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid'ah karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin, penerjemah Ahmad Masykur MZ, terbitan Yayasan Minhajus Sunnah, Bogor - Jabar]

KESEMPURNAAN ISLAM DAN BAHAYA BID'AH ( 3/4 )

Oleh
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin


Bagian Ketiga dari Empat Tulisan [3/4]

Beberapa Pertanyaan dan Jawabannya
Mungkin ada di antara pembaca yang bertanya : Bagaimanakah pendapat anda tentang perkataan Umar bin Khatab Radhiyallahu 'Anhu setelah memerintahkan kepada Ubay bin Ka'ab dan Tamim Ad-Dari agar mengimami orang-orang di bulan Ramadhan. Ketika keluar mendapatkan para jama'ah sedang berkumpul dengan imam mereka, beliau berkata : "inilah sebaik-baik bid'ah .... dst".

Jawabnya :
Pertama : Bahwa tak seorangpun di antara kita boleh menentang sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, walaupun dengan perkataan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali atau dengan perkataan siapa saja selain mereka. Karena Allah Ta'ala berfirman :

"Artinya : Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih". [An-Nuur : 63].
Imam Ahmad bin Hambal berkata : "Tahukah anda, apakah yang dimaksud dengan fitnah ?. Fitnah, yaitu syirik. Boleh jadi apabila menolak sebagian sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam akan terjadi pada hatinya suatu kesesatan, akhirnya akan binasa".

Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata : "Hampir saja kalian dilempar batu dari atas langit. Kukatakan : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, tapi kalian menentangnya dengan ucapan Abu Bakar dan Umar".

Kedua : Kita yakin kalau Umar Radhiyallahu 'anhu termasuk orang yang sangat menghormati firman Allah Ta'ala dan sabda Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam. Beliaupun terkenal sebagai orang yang berpijak pada ketentuan-ketentuan Allah, sehingga tak heran jika beliau mendapat julukan sebagai orang yang selalu berpegang teguh kepada kalamullah. Dan kisah perempuan yang berani menyanggah pernyataan beliau tentang pembatasan mahar (maskawin) dengan firman Allah, yang artinya : " ... sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak ..." [An-Nisaa : 20] bukan rahasia lagi bagi umum, sehingga beliau tidak jadi melakukan pembatasan mahar.

Sekalipun kisah ini perlu diteliti lagi tentang keshahihahnya, tetapi dimaksudkan dapat menjelaskan bahwa Umar adalah seorang yang senantiasa berpijak pada ketentuan-ketentuan Allah, tidak melanggarnya.

Oleh karena itu, tak patut bila Umar Radhiyallahu 'anhu menentang sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata tentang suatu bid'ah : "Inilah sebaik-baik bid'ah", padahal bid'ah tersebut termasuk dalam kategori sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Setiap bid'ah adalah kesesatan".

Akan tetapi bid'ah yang dikatakan oleh Umar, harus ditempatkan sebagai bid'ah yang tidak termasuk dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut. Maksudnya : adalah mengumpulkan orang-orang yang mau melaksanakan shalat sunat pada malam bulan Ramadhan dengan satu imam, di mana sebelumnya mereka melakukannya sendiri-sendiri.

Sedangkan shalat sunat ini sendiri sudah ada dasarnya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana dinyatakan oleh Sayyidah Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata : "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melakukan qiyamul lail (bersama para sahabat) tiga malam berturut-turut, kemudian beliau menghentikannnya pada malam keempat, dan bersabda :
"Artinya : Sesungguhnya aku takut kalau shalat tersebut diwajibkan atas kamu, sedanghkan kamu tidak mampu untuk melaksanakannya". [Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim].

Jadi qiyamul lail (shalat malam) di bulan Ramadhan dengan berjamaah termasuk sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun disebut bid'ah oleh Umar Radhiyallahu anhu dengan pertimbangan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah menghentikannya pada malam keempat, ada di antara orang-orang yang melakukannya sendiri-sendiri, ada yang melakukannya secara berjama'ah dengan orang banyak. Akhirnya Amirul Mu'minin Umar Radhiyallahu 'anhu dengan pendapatnya yang benar mengumpulkan mereka dengan satu imam. Maka perbuatan yang dilakukan oleh Umar ini disebut bid'ah, bila dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang sebelum itu. Akan tetapi sebenarnya bukanlah bid'ah, karena pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dengan penjelasan ini, tidak ada suatu alasan apapun bagi ahli bid'ah untuk menyatakan perbuatan bid'ah mereka sebagai bid'ah hasanah.

Mungkin juga di antara pembaca ada yang bertanya : Ada hal-hal yang tidak pernah dilakukan pada masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tetapi disambut baik dan diamalkan oleh umat Islam, seperti; adanya sekolah, penyusunan buku, dan lain sebagainya. Hal-hal baru seperti ini dinilai baik oleh umat Islam, diamalkan dan dipandang sebagai amal kebaikan. Lalu bagaimana hal ini, yang sudah hampir menjadi kesepakatan kaum Muslimin, dipadukan dengan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Setiap bid'ah adalah kesesatan ?".

Jawabnya : Kita katakan bahwa hal-hal seperti ini sebenarnya bukan bid'ah, melainkan sebagai sarana untuk melaksanakan perintah, sedangkan sarana itu berbeda-beda sesuai tempat dan zamannya. Sebagaimana disebutkan dalam kaedah : "Sarana dihukumi menurut tujuannya". Maka sarana untuk melaksanakan perintah, hukumnya diperintahkan ; sarana untuk perbuatan yang tidak diperintahkan, hukumnya tidak diperintahkan ; sedang sarana untuk perbuatan haram, hukumnya adalah haram. Untuk itu, suatu kebaikan jika dijadikan sarana untuk kejahatan, akan berubah hukumnya menjadi hal yang buruk dan jahat.

Firman Allah Ta'ala.
"Artinya : Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan". [Al-An'aam : 108].
Padahal menjelek-jelekkan sembahan orang-orang yang musyrik adalah perbuatan hak dan pada tempatnya. Sebaliknya, mejelek-jelekan Rabbul 'Alamien adalah perbuatan durjana dan tidak pada tempatnya. Namun, karena perbuatan menjelek-jelekkan dan memaki sembahan orang-orang musyrik menyebabkan mereka akan mencaci maki Allah, maka perbuatan tersebut dilarang.

Ayat ini sengaja kami kutip, karena merupakan dalil yang menunjukkan bahwa sarana dihukumi menurut tujuannya. Adanya sekolah-sekolah, karya ilmu pengetahuan dan penyusunan kitab-kitab dan lain sebagainya walaupun hal baru dan tidak ada seperti itu pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, namun bukan tujuan, tetapi merupakan sarana. Sedangkan sarana dihukumi menurut tujuannya. Jadi seandainya ada seseorang membangun gedung sekolah dengan tujuan untuk pengajaran ilmu yang haram, maka pembangunan tersebut hukumnya adalah haram. Sebaliknya, apabila bertujuan untuk pengajaran ilmu syar'i, maka pembangunannya adalah diperintahkan.

Jika ada pula yang mempertanyakan : Bagaimana jawaban anda terhadap sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu ..".
"Sanna" di sini artinya : membuat atau mengadakan.

Jawabnya :
Bahwa orang yang menyampaikan ucapan tersebut adalah orang yang menyatakan pula : "Setiap bid'ah adalah kesesatan". yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan tidak mungkin sabda beliau sebagai orang yang jujur dan terpercaya ada yang bertentangan satu sama lainnya, sebagaimana firman Allah juga tidak ada yang saling bertentangan. Kalau ada yang beranggapan seperti itu, maka hendaklah ia meneliti kembali. Anggapan tersebut terjadi mungkin karena dirinya yang tidak mampu atau karena kurang jeli. Dan sama sekali tidak akan ada pertentangan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala atau sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dengan demikian tidak ada pertentangan antara kedua hadits tersebut, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan : "man sanna fil islaam", yang artinya : "Barangsiapa berbuat dalam Islam", sedangkan bid'ah tidak termasuk dalam Islam ; kemudian menyatkan : "sunnah hasanah", berarti : "Sunnah yang baik", sedangkan bid'ah bukan yang baik. Tentu berbeda antara berbuat sunnah dan mengerjakan bid'ah.

Jawaban lainnya, bahwa kata-kata "man sanna" bisa diartikan pula : "Barangsiapa menghidupkan suatu sunnah", yang telah ditinggalkan dan pernah ada sebelumnya. Jadi kata "sanna" tidak berarti membuat sunnah dari dirinya sendiri, melainkan menghidupkan kembali suatu sunnah yang telah ditinggalkan.

Ada juga jawaban lain yang ditunjukkan oleh sebab timbulnya hadits diatas, yaitu kisah orang-orang yang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mereka itu dalam keadaan yang amat sulit. Maka beliau menghimbau kepada para sahabat untuk mendermakan sebagian dari harta mereka. Kemudian datanglah seorang Anshar dengan membawa sebungkus uang perak yang kelihatannya cukup banyak, lalu diletakkannya di hadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seketika itu berseri-serilah wajah beliau dan bersabda.

"Artinya : Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu ..".

Dari sini, dapat dipahami bahwa arti "sanna" ialah : melaksanakan (mengerjakan), bukan berarti membuat (mengadakan) suatu sunnah. Jadi arti dari sabda beliau : "Man Sanna fil Islaami Sunnatan Hasanan", yaitu : "Barangsiapa melaksanakan sunnah yang baik", bukan membuat atau mengadakannya, karena yang demikian ini dilarang. berdasarkan sabda beliau : "Kullu bid'atin dhalaalah".

[Disalin dari buku Al-Ibdaa' fi Kamaalisy Syar'i wa Khatharil Ibtidaa' edisi Indonesia Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid'ah karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin, penerjemah Ahmad Masykur MZ, terbitan Yayasan Minhajus Sunnah, Bogor - Jabar]

KESEMPURNAAN ISLAM DAN BAHAYA BID'AH 2/4

Oleh
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin


Bagian Kedua dari Empat Tulisan [2/4]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam Telah Menjelaskan pula Seluruh Agama.

Pembaca yang budiman.
Apabila saudara telah mengakui dan meyakini akan hal-hal di atas, maka apakah masih ada sesuatu hal tentang agama yang dapat mendekatkan kepada Allah belum dijelaskan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai beliau wafat ?

Tentu tidak. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkan segala sesuatu berkenan dengan agama, baik melalui perkataan, perbuatan atau persetujuan beliau. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkannya langsung dari inisiatif beliau, atau sebagai jawaban atas pertanyaan. Kadangkala, dengan kehendak Allah, ada seorang Badui datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk bertanya tentang sesuatu masalah dalam agama, sementara para sahabat yang selalu menyertai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menanyakan hal tersebut. Karena itu para sahabat merasa senang apabila ada seorang Badui datang untuk bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Sebagai bukti bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan segala apa yang diperlukan manusia dalam ibadah, mu'amalah dan kehidupan mereka, yaitu firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku ridhai Islam itu jadi agama bagimu". [Al-Maa'idah : 3]

Setiap Bid'ah Adalah Kesesatan

Apabila masalah tadi sudah jelas dan menjadi ketetapan saudara, maka ketahuilah bahwa siapapun yang berbuat bid'ah dalam agama, walaupun dengan tujuan baik, maka bid'ahnya itu, selain merupakan kesesatan, adalah suatu tindakan menghujat agama dan mendustakan firman Allah Ta'ala, yang artinya : " Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu ....." . Karena dengan perbuatannya tersebut, dia seakan-akan mengatakan bahwa Islam belum sempurna, sebab amalan yang diperbuatnya dengan anggapan dapat mendekatkan diri kepada Allah belum terdapat di dalamnya.

Anehnya, ada orang yang melakukan bid'ah berkenan dengan dzat, asma' dan sifat Allah Azza wa Jalla, kemudian ia mengatakan bahwa tujuannya adalah untuk mengagungkan Allah, untuk mensucikan Allah, dan untuk menuruti firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah". [Al-Baqarah : 22]

Aneh, bahwa orang yang melakukan bid'ah seperti ini dalam agama Allah, yang berkenan dengan dzat-Nya, yang tidak pernah dilakukan oleh para ulama salaf, mengatakan bahwa dialah yang mensucikan Allah, dialah yang mengagungkan Allah dan dialah yang menuruti firman-Nya : "Artinya : Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah", dan barangsiapa yang menyalahinya maka dia adalah mumatstsil musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), atau menuduhnya dengan sebutan-sebutan jelek lainnya.

Anehnya lagi, ada orang-orang yang melakukan bid'ah dalam agama Allah berkenaan dengan pribadi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dengan perbuatannya itu mereka menganggap bahwa dirinyalah orang yang paling mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan yang mengagungkan beliau, barangsiapa yang tidak berbuat sama seperti mereka maka dia adalah orang yang membenci Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, atau menuduhnya dengan sebutan-sebutan jelek lainnya yang biasa mereka pergunakan terhadap orang yang menolak bid'ah mereka.

Aneh, bahwa orang-orang semacam ini mengatakan : "Kamilah yang mengagungkan Allah dan Rasul-Nya". Padahal dengan bid'ah yang mereka perbuat itu, mereka sebenarnya telah bertindak lancang terhadap Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta'ala telah berfirman.

"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". [Al-Hujuraat : 1]

Pembaca Yang Budiman.
Disini penulis mau bertanya, dan mohon -demi Allah- agar jawaban yang anda berikan berasal dari hati nurani bukan secara emosional, jawab yang sesuai dengan tuntunan agama anda, bukan karena taklid (ikut-ikutan).

Apa pendapat anda terhadap mereka yang melakukan bid'ah dalam agama Allah, baik yang berkenan dengan dzat, sifat dan asma' Allah Subhanahu wa Ta'ala atau yang berkenan dengan pribadi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian mengatakan : "Kamilah yang mengagungkan Allah dan Rasulullah ?".

Apakah mereka ini yang lebih berhak disebut sebagai pengagung Allah dan Rasulullah, ataukah orang-orang yang mereka itu tidak menyimpang seujung jaripun dari syari'at Allah, yang berkata : "Kami beriman kepada syari'at Allah yang dibawa Nabi, kami mempercayai apa yang diberitakan, kami patuh dan tunduk terhadap perintah dan larangan ; kami menolak apa yang tidak ada dalam syari'at, tak patut kami berbuat lancang terhadap Allah dan Rasul-Nya atau mengatakan dalam agama Allah apa yang tidak termasuk ajarannya ?".

Siapakah, menurut anda, yang lebih berhak untuk disebut sebagai orang yang mencintai serta mengagungkan Allah dan Rasul-Nya .?

Jelas golongan yang kedua, yaitu mereka yang berkata : "Kami mengimani dan mempercayai apa yang diberitakan kepada kami, patuh dan tunduk terhadap apa yang diperintahkan ; kami menolak apa yang tidak diperintahkan, dan tak patut kami mengada-adakan dalam syari'at Allah atau melakukan bid'ah dalam agama Allah". Tak syak lagi bahwa mereka inilah orang-orang yang tahu diri dan tahu kedudukan Khaliqnya. Merekalah yang mengagungkan Allah dan Rasul-Nya, dan merekalah yang menunjukkan kebenaran kecintaan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.

Bukan golongan pertama, yang melakukan bid'ah dalam agama Allah, dalam hal akidah, ucapan, atau perbuatan. Padahal, anehnya, mereka mengerti sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam.

"Artinya : Jauhilah perkara-perkara baru, karena setiap perkara baru adalah bid'ah, setiap bid'ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan masuk dalam neraka".

Sabda beliau : "setiap bid'ah " bersifat umum dan menyeluruh, dan mereka mengetahui hal itu.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyampaikan maklumat umum ini, tahu akan konotasi apa yang disampaikannya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang paling fasih, paling tulus terhadap umatnya, tidak mengatakan kecuali apa yang dipahami maknanya, Maka ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Kullu bid'atin dhalalah", Beliau menyadari apa yang diucapkan, mengerti betul akan maknanya, dan ucapan ini timbul dari beliau karena beliau benar-benar tulus terhadap umatnya.

Apabila suatu perkataan memenuhi ketiga unsur ini, yaitu : diucapkan dengan penuh ketulusan, penuh kefasihan dan penuh pengertian, maka perkataan tersebut tidak mempunyai konotasi lain kecuali makna yang dikandungnya.

Dengan pernyataan umum tadi, benarkah bahwa bid'ah dapat kita bagi menjadi tiga bagian, atau lima bagian ?

Sama sekali tidak benar. Adapun pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa ada bid'ah hasanah, maka pendapat tersebut tidak lepas dari dua hal.

Pertama : kemungkinan tidak termasuk bid'ah tapi dianggapnya sebagai bid'ah.
Kedua : kemungkinan termasuk bid'ah, yang tentu saja sayyi'ah (buruk), tetapi dia tidak mengetahui keburukannya.

Jadi setiap perkara yang dianggapnya sebagai bid'ah hasanah, maka jawabannya adalah demikian tadi.

Dengan demikian, tak ada jalan lagi bagi ahli bid'ah untuk menjadikan sesuatu bid'ah mereka sebagai bid'ah hasanah, karena kita telah mempunyai senjata ampuh dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu :

"Artinya : Setiap bid'ah adalah kesesatan"

Senjata itu bukan dibuat di sembarang pabrik, melainkan datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan dibuat sedemikian sempurna. Maka barangsiapa yang memegang senjata ini tidak akan dapat dilawan oleh siapapun dengan bid'ah yang dikatakannya sebagai hasanah, sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyatakan : "Setiap bid'ah adalah kesesatan".

[Disalin dari buku Al-Ibdaa' fi Kamaalisy Syar'i wa Khatharil Ibtidaa' edisi Indonesia Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid'ah karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin, penerjemah Ahmad Masykur MZ, terbitan Yayasan Minhajus Sunnah, Bogor - Jabar]

Template Information

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. BELAJAR ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger