Latest Article Get our latest posts by subscribing this site

Siapakah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah?


Sungguh sayang sungguh malang, umat Islam di masa ini bak buih di lautan, banyak jumlahnya namun tercerai-berai. Heran bukan kepalang melihat fenomena ini, kita semua tahu bahwa Islam yang dibawa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam hanya 1 macam, sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya: “Sesungguhnya kalian adalah umat yang satu dan Aku adalah Rabb kalian, maka beribadahlah kepada-Ku” [Al-Anbiyaa : 92]. Namun mengapa hari ini Islam menjadi bermacam-macam? Aneh bukan?
Ternyata Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sedari dulu telah memperingatkan hal ini: “Telah berpecah kaum Yahudi menjadi tujuh puluh satu golongan ; dan telah berpecah kaum Nashara menjadi tujuh puluh dua golongan; sedang umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Maka kami-pun bertanya, siapakah yang satu itu ya Rasulullah? ; Beliau menjawab: yaitu orang-orang yang berada pada jalanku dan jalannya para sahabatku di hari ini” [HR. Tirmidzi]. Namun lihatlah, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengabarkan bahwa ada 1 golongan yang selamat dari perpecahan yaitu orang-orang yang beragama dengan menempuh jalan Islam sebagaimana jalan Islam yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya pada masa itu. Dari sinilah muncul istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah istilah yang dilekatkan dengan sifat-sifat golongan yang selamat yang disebutkan dalam hadist di atas. Maka tak pelak lagi, istilah Ahlus Sunnah pun menjadi rebutan. Bahkan orang-orang yang menempuh jalan yang salah pun mengaku Ahlus Sunnah. Sehingga masyarakat awam yang sedikit menyentuh ilmu agama pun dibuat bingung karenanya, dan rancu dibuatnya, tentang siapakah sebenarnya Ahlus Sunnah itu?
Makna Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Kata “Ahlussunnah” terdiri dari dua suku kata yaitu ’ahlu’ yang berarti keluarga, pemilik, pelaku atau seorang yang menguasai suatu permasalahan, dan kata ’sunnah’. Namun bukanlah yang dimaksud di sini sunnah dalam ilmu fiqih, yaitu perbuatan yang mendapat pahala jika dilakukan, dan tidak berdosa jika ditinggalkan. Akan tetapi sunnah adalah apa yang datang dari Nabi baik berupa syariat, agama, petunjuk yang lahir maupun yang bathin, kemudian dilakukan oleh sahabat, tabiin dan pengikutnya sampai hari Kiamat. Dengan demikian definisi Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan sunnah para shahabatnya. Sehingga Imam Ibnul Jauzi berkata,” Tidak diragukan bahwa orang yang mengikuti atsar (sunnah) Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya adalah Ahlus Sunnah” (Lihat Talbisul Iblis hal. 16)
Sedangkan kata ”Al Jama’ah” artinya bersama atau berkumpul. Dinamakan demikian karena mereka bersama dan berkumpul dalam kebenaran, mengamalkannya dan mereka tidak mengambil teladan kecuali dari para sahabat, tabiin dan ulama–ulama yang mengamalkan sunnah sampai hari kiamat. Karena merekalah orang-orang yang paling memahami agama yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Namun yang perlu digaris-bawahi di sini adalah bahwa Al Jama’ah adalah orang-orang yang berada di atas kebenaran, bukan pada jumlahnya. Jumlah yang banyak tidak menjadi patokan kebenaran, bahkan Allah Ta’ala berfirman yang artinya: ”Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah” [Al An’am: 116]. Sehingga benarlah apa yang dikatakan Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu: “Al-Jama’ah adalah yang mengikuti kebenaran walaupun engkau sendirian” (Syarah Usuhul I’tiqaad Al Laalika-i no. 160).
Ringkasnya, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah orang-orang yang mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya, dan dalam memahami dan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallamtersebut mereka meneladani praktek dan pemahaman para sahabat, tabi’in dan orang yang mengikuti mereka. Dan makna ini sesuai dengan apa yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tentang satu golongan yang selamat pada hadits di atas: ”yaitu orang-orang yang berada pada jalanku dan jalannya para sahabatku dihari ini”.
Pemahaman Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Mungkin setelah dijelaskan makna Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, sebagian orang masih rancu tentang siapakah sebenarnya mereka itu. Karena semua muslim, dari yang paling ’alim hingga yang paling awamnya, dari yang benar hingga yang paling menyimpang akan mengaku bahwa ia berjalan di atas jalannya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya. Maka dalam kitab Ushul Aqidah Ahlis Sunnah, Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhahullahmenjelaskan bahwa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dapat dikenal dengan dua indikator umum:
  1. Ahlus Sunnah berpegang teguh terhadap sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, berbeda dengan golongan lain yang beragama dengan berdasar pada akal, perasaan, hawa nafsu, taqlid buta atau ikut-ikutan saja.
  2. Ahlus Sunnah mencintai Al Jama’ah, yaitu persatuan ummat di atas kebenaran serta membenci perpecahan dan semangat kekelompokan (hizbiyyah). Berbeda dengan golongan lain yang gemar berkelompok-kelompok, membawa bendera-bendera hizbiyyah dan bangga dengan label-label kelompoknya.
Perlu diketahui juga bahwa istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah muncul untuk membedakan ajaran Islam yang masih murni dan lurus dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dengan ajaran Islam yang sudah tercampur dengan pemikiran-pemikiran menyimpang seperti pemikiran Jahmiyah, Qodariyah, Syi’ah dan Khawarij. Sehingga orang-orang yang masih berpegang teguh pada ajaran Islam yang masih murni tersebut dinamakan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Imam Malik rahimahullah pernah ditanya : “Siapakah Ahlus Sunnah itu? Ia menjawab: Ahlus Sunnah itu mereka yang tidak mempunyai laqb (julukan) yang sudah terkenal. Yakni bukan Jahmiyah, bukan Qadariyah, dan bukan pula Syi’ah”. (Lihat Al-Intiqa fi Fadlailits Tsalatsatil Aimmatil Fuqaha. hal.35 oleh Ibnu Abdil Barr).
Walaupun pada kenyataannya orang-orang yang berpemikiran menyimpang tersebut, seperti Jahmiyah, Qodariyah, Syi’ah dan Khawarij juga sebagian mengaku sebagai Ahlus Sunnah. Sehingga hal ini memicu para Imam Ahlus Sunnah untuk menjelaskan poin-poin pemahaman Ahlus Sunnah, agar umat dapat menyaring pemahaman-pemahaman yang tidak sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah. Salah satunya dari Imam Ahlus Sunnah yang merinci poin-poin tersebut adalah Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah dalam kitabnya Ushul As Sunnah. Secara ringkas, poin-poin yang dijelaskan Imam Ahmad tentang pemahaman Ahlus Sunnah Wal Jama’ah diantaranya adalah:
  • Beriman kepada takdir Allah,
  • Beriman bahwa Al Qur’an adalah Kalamullah (perkataan Allah), bukan makhluk dan bukan perkataan makhluk,
  • Beriman tentang adanya mizan (timbangan) di hari Kiamat, yang akan menimbang amal manusia,
  • Beriman bahwa Allah ‘Azza Wa Jalla akan berbicara dengan hamba-Nya di hari Kiamat,
  • Beriman tentang adanya adzab kubur dan adanya pertanyaan malaikat di dalam kubur,
  • Beriman tentang adanya syafa’at Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bagi ummat beliau
  • Beriman bahwa Dajjal akan muncul,
  • Beriman bahwa iman seseorang itu tidak hanya keyakinan namun juga mencakup perkataan dan perbuatan, dan iman bisa naik dan turun,
  • Beriman bahwa orang yang meninggalkan shalat dapat terjerumus dalam kekufuran,
  • Patuh dan taat pada penguasa yang muslim, baik shalih mau fajir (banyak bermaksiat). Selama ia masih menjalankan shalat dan kepatuhan hanya pada hal yang tidak melanggar syariat saja,
  • Tidak memberontak kepada penguasa muslim,
  • Beriman bahwa tidak boleh menetapkan seorang muslim pasti masuk surga atau pasti masuk neraka,
  • Beriman bahwa seorang muslim yang mati dalam keadaan melakukan dosa tetap disholatkan, baik dosanya kecil atau besar.
Jangan salah membatasi
Imam Al Barbahari berkata: ”Ketahuilah bahwa ajaran Islam itu adalah sunnah dan sunnah itu adalah Islam” (LihatSyarhus Sunnah, no 2). Maka pada hakikatnya pemahaman Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah Islam itu sendiri dan ajaran Islam yang hakiki adalah pemahaman Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Maka Ahlus Sunnah adalah setiap orang Islam dimana saja berada yang mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dengan pemahaman para sahabatnya. Jika demikian, sungguh keliru sebagian orang yang membatasi Ahlus Sunnah dengan batas-batas yang serampangan.
Telah keliru orang yang membatasi Ahlus Sunnah dengan suatu kelompok atau organisasi tertentu, seperti perkataan: ’Ahlus Sunnah adalah NU’ atau ’Ahlus Sunnah adalah Muhammadiyah’. Telah salah orang yang membatasi Ahlus Sunnah dengan majlis ta’lim atau ustadz tertentu dengan berkata: ’Ahlus Sunnah adalah yang mengaji di masjid A’ atau ’Ahlus Sunnah adalah yang mengaji dengan ustadz B’. Keliru pula orang yang membatasi dengan penampilan tertentu, misalnya dengan berkata ’Ahlus Sunnah adalah yang memakai gamis, celana ngatung dan berjenggot lebat. Yang tidak demikian bukan Ahlus Sunnah’. Tidak benar pula membatasi Ahlus Sunnah dengan fiqih misalnya dengan berkata ’Yang shalat shubuh pakai Qunut bukan Ahlus Sunnah’ atau ’Orang yang shalatnya memakai sutrah (pembatas) dia Ahlus Sunnah, yang tidak pakai bukan Ahlus Sunnah’. Dan banyak lagi kesalah-pahaman tentang Ahlus Sunnah di tengah masyarakat sehingga istilah Ahlus Sunnah mereka tempelkan pada kelompok-kelompok mereka untuk mengunggulkan kelompoknya dan berfanatik buta terhadap kelompoknya.
Adapun Ahlus Sunnah yang sejati tidak sibuk dengan label dan pengakuan, serta benci dengan semangat kekelompokkan. Sebagaimana perkataan Ibnu Qoyyim Al Jauziyah tentang Ahlus Sunnah: ”Sesuatu yang tidak mempunyai nama kecuali Ahlus Sunnah” (Lihat Madarijus Salikin III/174). Bahkan seorang Ahlus Sunnah menyibukkan diri dengan menerapkan sunnah dalam setiap aspek kehidupannya. Dan tidak ada gunanya seseorang mengaku-ngaku Ahlus Sunnah, sementara ia sibuk dengan melakukan bid’ah dan hal-hal yang bertentangan dengan sunnah. Allah Ta’ala berfirman yang artinya ”Sesungguhnya Rabb-mu lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia juga lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk” [An Najm: 30].
Semoga Allah Ta’ala senantiasa menunjukkan kita kepada jalan yang lurus, yaitu jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang diberikan ni’mat, bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan orang-orang tersesat.

Niat itu Amalan Hati


Suatu amalan ibadah tidaklah akan diterima kecuali  jika terkumpul dua syarat, yaitu ikhlas dan ittiba’. Ikhlas berkaitan dengan amalan hati yaitu niat, sedangkan ittiba’ adalah berkaitan dengan amalan dzahir seseorang, apakah ia sesuai tuntunan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam beribadah atau tidak. Dengan kata lain, niat ikhlas adalah tolak ukur ibadah hati dan ittiba’ur rasul adalah tolak ukur ibadah dzahir.
Banyak orang yang setelah mengenal kebenaran, tahu mana yang sunnah dan mana yang bid’ah, mereka bersemangat memperbaiki amalan dzahir agar mencocoki Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam beramal. Tidaklah dipungkiri bahwa hal ini merupakan amalan yang baik. Akan tetapi sayangnya kita sering kurang memperhatikan masalah yang berhubungan dengan hati, yaitu niat. Sehingga tema ini kami angkat dalam edisi ini.

Definisi Niat
An Niat (niat) secara bahasa artinya adalah al qashdu (maksud) dan al iraadah (keinginan) atau dengan kata lainqashdul quluub wa iraadatuhu (maksud dan keinginan hati). Sedangkan definisi niat secara Istilah adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’di, beliau berkata, “Niat adalah maksud dalam beramal untuk mendekatkan diri pada Allah, mencari ridha dan pahalaNya.” (Bahjah Quluubil Abraar wa Qurratu ‘Uyuunil Akhyaar Syarah Jawaami’ul Akhbar hal. 5)
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh menjelaskan bahwa makna niat dalam istilah para ulama ada dua macam:
  1. Niat yang terkait dengan ibadah. Inilah istilah yang dimaksudkan para ahli fiqih dalam berbagai hukum ketika mereka mengatakan, “Syarat yang pertama: niat”. Yang mereka maksudkan adalah niat yang ditujukan untuk ibadah yang membedakan antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lain. Misalnya, untuk membedakan shalat dari puasa, dan membedakan shalat wajib dari shalat sunah.
  2. Niat yang terkait dengan kepada siapa ibadah tersebut ditujukan. Niat dengan pengertian ini sering diistilahkan dengan ikhlas. (Syarah Al Arba’in An Nawawiyyah fil Ahadits Ash Shahihah an Nabawiyyah –Majmu’atul Ulama’- hal.31-32)
Hadits tentang Niat
Dari Umar radhiallahu‘anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua amal itu tergantung niatnya dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan RasulNya. Barangsiapa yang hijrahnya itu karena dunia yang ingin ia dapatkan  atau karena seorang wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya.”(Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa semua amalan apakah itu amalan baik maupun buruk, maka pasti diiringi dengan niat. Jika seseorang berniat melakukan amalan yang hukum asalnya mubah dengan niat yang baik, maka dia diberi pahala dengan niatnya tersebut. Jika ia berniat dengan maksud yang buruk, maka ia akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.
Tempat Niat
Tempat niat adalah di dalam hati, dan An Nawawi berkata,”Tidak ada khilaf dalam hal ini.” Ibnu Taimiyyah mengatakan,”Niat tidaklah dilafadzkan.” . Dan jelas bagi kita bahwa niat adalah amalan hati dan bukan amalan dzahir. Adapun melafadzkan niat, maka tidak dicontohkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam , tidak pula para sahabat beliau, dan tidak terdapat hadits dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan bahwa jika beliau hendak shalat atau berwudhu beliau mengucapkan, “Nawaitu an ushalli…(aku berniat untuk sholat…)” atau “Nawaitu an atawadhdha’…(Aku berniat untuk wudhu…)” atau “Nawaitu an aghtasil…(Aku berniat untuk mandi)” dan sebagainya.
Beribadah dengan Niat Mendapatkan Perkara Dunia
Perlu diketahui bahwasanya amalan ibadah ada dua macam:
  1. Amalan yang wajib diniatkan untuk Allah dan tidak boleh terbetik dalam hati pelakunya untuk mendapatkan balasan berupa perkara dunia sama sekali. Mayoritas amalan ibadah adalah demikian, semisal: shalat, zakat, dzikir, dan sebagainya.
  2. Amalan ibadah yang Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan balasannya di dunia dengan tujuan untuk memotivasi. Misalnya adalah sabda Nabi shalallahu’alaihi wa sallam,“Barangsiapa yang ingin diluaskan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah bersilaturahim.” (Muttafaqun ‘alaih)
Barangsiapa yang menginginkan balasan dunia dalam keadaan meyakini bahwa itulah motivasi dari Allah, maka diperbolehkan. Karena tidaklah Allah memotivasi dengan balasan dunia, kecuali Allah mengijinkan hal tersebut menjadi hal yang dicari dan dituntut. Oleh karena itu barangsiapa bersilaturahim dengan mengharap wajah Allah dan juga menginginkan balasan di dunia dengan banyaknya rizki serta dipanjangkan umurnya, maka hukumnya boleh.
Jika telah jelas bahwa orang yang demikian tidak dihukumi sebagai musyrik, lalu yang menjadi pertanyaan adalah apakah sama orang yang bersilaturahim dengan niat mendapat balasan dunia disamping ia meniatkannya karena Allah dibandingkan orang yang hanya meniatkannya untuk Allah dan tidak menginginkan balasan dunia? Jawabannya adalah tidak sama. Pahalanya akan berbeda. Barangsiapa yang niatnya ikhlas karena Allah maka pahalanya akan bertambah besar sebanding dengan menguatnya keikhlasan. (Syarah Al Arba’in An Nawawiyyah fil Ahadits Ash Shahihah an Nabawiyyah –Majmu’atul Ulama’- hal.34-35)
Ketika Niat Ikhlas Tercampur Riya’
Ada tiga keadaan dalam hal ini:
  1. Ketika niat utama yang mendorong seseorang melakukan sebuah amalan adalah riya’, maka hal ini merupakan kesyirikan dan ibadahnya batal.
  2. Ketika pada awal ibadah niatnya ikhlas, kemudian di tengah ibadah tercampur riya’, maka ada dua keadaan:
    a. Jika ia berusaha melawan rasa riya’ tersebut dan tidak terus menerus dalam rasa riya’, maka riya’ tersebut tidak berpengaruh pada amalannya.
    b. Jika ia tidak melawan rasa riya’ dan terus menerus dalam keadaan riya’, maka hukum ibadah dalam keadaan ini:
    - Jika ibadah tersebut bagian akhirnya tidak terbangun atas bagian awalnya (tidak serangkaian), maka amalan yang tidak tercampur riya’ adalah sah dan amalan yang tercampur riya’ batal. Contoh: seseorang ingin bersedekah sebanyak Rp 200.000,- . Pertama, ia sedehkan Rp 100.000,- dengan niat ikhlas. Kemudian ia sedekahkan lagi Rp 100.000,- , tetapi dengan niat riya’ . Maka sedekahnya yang pertama sah, dan sedekahnya yang kedua batal.
    - Jika ibadah tersebut bagian akhirnya terbangun dari bagian awalnya (satu rangkaian ibadah), maka keseluruhan ibadah tersebut batal. Contoh: seseorang shalat dua rakaat dengan niat awal ikhlas karena Allah. Kemudian muncul rasa riya’ di rakaat yang kedua dan dia tidak melawannya serta terus menerus dalam keadaan riya’hingga selesai shalat, maka batallah sholatnya dari awal hingga akhir.
  3. Ketika muncul riya’, tetapi setelah ibadah selesai, maka tidak membatalkan amalan.
(At Tauhid al Muyassar hal. 97-98, dengan sedikit perubahan)
Beberapa Faidah dan Urgensi Niat
Diantara faidah dan urgensi niat adalah:
  1. Niat berfungsi untuk membedakan antara amalan ibadah yang satu dengan yang lain. Misalnya, seseorang shalat dua rakaat , bisa jadi ia meniatkannya untuk shalat fardhu, atau shalat sunah rawatib, atau tahiyatul masjid. Maka, dengan niat, seseorang membedakan apakah ia melakukan hal yang wajib ataukah hal yang sunah.
  2. Niat berfungsi untuk membedakan perkara ibadah dan perkara adat kebiasaan manusia. Misalnya seseorang yang mandi, bisa jadi ia meniatkannya hanya sekedar untuk membersihkan badan (yang nilainya hanyalah sekedar kebiasaan saja) atau bisa jadi ia berniat untuk menghilangkan hadats besar (yang nilainya adalah ibadah).
  3. Benarnya niat menunjukkan ikhlas kepada Allah.
  4. Niat yang benar merupakan sebab mendapatkan pahala.
Niat merupakan syarat sebuah amal membuahkan pahala. Amalan mubah seperti makan, minum, dan sebagainya, jika diiringi dengan niat yang benar, semisal karena memenuhi perintah Allah da RasulNya serta untuk membantu dalam melaksanakan ketaatan, maka bisa menjadi amal shalih dan pelakunya diberi pahala. (Al Aqd Ats Tsamiin fi Syarhi Mandzumah Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin fi Ushuulil Fiqhi wa Qawaa’idihi hal.214-215)

Keutamaan dan Adab-Adab Dzikrullah


Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),“Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah Allah dengan dzikir yang banyak.” (QS. Al-Ahzaab: 41).
Ibnu Katsir rahimahullaah berkata, “Dari Ibnu ‘Abbas beliau berkata, “Sesungguhnya Allah tidaklah memerintahkan sebuah kewajiban atas hamba-Nya, melainkan menyebutkan batas-batas kewajiban tersebut dan memberikan ‘udzur bagi orang-orang yang tidak mampu melakukannya, kecuali dzikir. Allah tidak membatasi kewajiban berdzikir dengan batasan tertentu dan tidak pula memberi ‘udzur bagi orang yang meninggalkannya, kecuali orang yang tidak sengaja meninggalkannya.
Allah berfirman (yang artinya),“Maka ingatlah Allah di waktu berdiri, duduk dan berbaring.” (QS. An-Nisaa’: 103). Pada waktu malam dan siang, di daratan dan di lautan, ketika sedang menetap maupun dalam perjalanan, di waktu kaya maupun miskin, sedang sehat ataupun sedang sakit, dalam keramaian maupun dalam kesendirian, dan dalam segala hal.” (Tafsir Ibnu Katsir).

Membangun masyarakat yang gemar berdzikir
Banyak problematika dalam kehidupan bermasyarakat, jika diusut dan dicari benang merahnya maka akan kita dapatkan bahwa faktor utama penyebabnya adalah jauhnya kita dari dzikrullah. Di sini penulis menghimbau semua pihak agar proses menuju masyarakat yang gemar berdzikir dimulai dari membiasakan diri pribadi untuk memperbanyak dzikir. Jadikan semboyan dalam hidup ini: “Tiada hari tanpa berdzikir.”
Agar kita semangat untuk berdzikir, sangat dianjurkan untuk mengetahui dan menyadari tentang keutamaan dzikir dan orang-orang yang banyak berdzikir. Di antara keutamaannya:
[1] Dzikir merupakan salah satu tujuan disyari’atkannya ibadah
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka beribadahlah kepada-Ku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (QS. Thaaha: 14).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Sesungguhnya disyari’atkannya thawaf, sa’i antara Shafa dan Marwah, dan melempar jamrah adalah dalam rangka untuk menegakkan dzikrullah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan yang lainnya. At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”).
[2] Dzikir merupakan senjata utama melawan dan mengusir syaithan
Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan. Sesungguhnya syaithan akan lari dari rumah yang dibacakan di dalamnya surat Al-Baqarah.” (HR. Muslim).
Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Syaithan itu berdiam di dalam hati anak Adam. Apabila seseorang itu lalai, lengah, dan lupa mengingat Allah, maka syaithan pun menggodanya. Sedangkan jika ia berdzikir mengingat Allah, maka syaithan pun lari bersembunyi” (Mushannaf Ibn Abi Syaibah, 7/135).
[3] Hidup menjadi lapang dengan berdzikir
Allah berfirman (yang artinya), “Dan barangsiapa berpaling dari mengingat-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaaha: 124).
[4] Dzikir sebagai pembeda antara mu’min dan munafik
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka .Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ di hadapan manusia.Dan tidaklah mereka mengingat Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisaa’: 142).
Hendaknya kita tidak merasa aman dari bahaya kemunafikan. Barangkali kita bukan termasuk orang yang suka berdusta, tidak pernah ingkar janji, selalu menjaga amanah, dan lain sebagainya. Akan tetapi, apakah kita termasuk orang-orang yang banyak berdzikir?
[5] Dzikir menyejukkan hati
Allah berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28).
Menjadi insan yang banyak berdzikir
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “…laki-laki dan perempuan yang banyak mengingat Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzaab: 35).
Kapan seorang muslim atau muslimah dikatakan sebagai orang-orang yang banyak berdzikir?
Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata ketika menafsirkan laki-laki dan perempuan yang banyak berdzikir, “Maksudnya adalah yang berdzikir setelah selesai shalat, berdzikir pagi dan petang, berdzikir sebelum tidur dan sesudah bangun dari tidur, berdzikir setiap keluar masuk rumah”
Mujaahid rahimahullaah berkata, “Seseorang tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang banyak berdzikir sampai ia berdzikir dalam semua keadaannya baik ketika sedang berdiri, duduk, atau berbaring” (Tafsir Al-Wasiith, Al-Waahidiy Asy-Syaafi’iy, 3/471)
Adab-adab Berdzikir
Setelah mengetahui keutamaan berdzikir, hendaknya seorang muslim menghiasi hari-harinya dengan dzikrullah. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Hendaknya engkau senantiasa membasahi lidahmu dengan dzikrullah.” (HR. Ahmad).
Di dalam berdzikir, seorang muslim dianjurkan untuk melakukannya dengan adab-adab sebagai berikut:
1. Berdzikir dengan suara yang lemah lembut dan penuh kekhusyu’an.
Allah berfirman (yang artinya),“Dan berdzikirlah mengingat Tuhanmu dalam dirimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raaf: 205).
2. Tidak berteriak dan mengeraskan suaranya.
Dari Abu Musa Al-Asy’ary radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata, “Tatkala orang-orang meninggikan suara mereka dalam berdo’a di sebuah perjalanan, maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menegur mereka dengan bersabda: “Wahai manusia, sayangilah diri-diri kalian! Sesungguhnya kalian tidak sedang berdo’a kepada sesuatu yang bisu dan jauh. Akan tetapi Dia adalah Dzat yang Maha Mendengar lagi Dekat, bahkan lebih dekat dengan kalian daripada leher tunggangan kalian.”(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
3. Jika berada dalam sebuah jama’ah (baik jama’ah shalat, jama’ah pengajian, maupun jama’ah dalam kendaraan), maka hendaknya masing-masing berdzikir dengan suaranya sendiri-sendiri, dan tidak dilakukan secara berjama’ah (satu suara/koor/dipimpin).
Dalilnya adalah dari Anas bin Maalik radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata, “Kami berangkat bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di waktu pagi hari itu (hari Arafah pada haji Wada’ -pen) dari Mina menuju Arafah. Di antara kami ada yang bertakbir, ada pula yang bertalbiyah. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkarinya.”(HR. Ibnu Maajah.Syaikh Al-Albaany berkata, “Shahih”).
Seandainya melakukan dzikir dengan cara berjama’ah disyari’atkan, tentunya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling tepat mencontohkan hal itu kepada umatnya dan seharusnya melarang para sahabat pada waktu itu karena ketidakkompakan mereka dalam berdzikir.
4. Jika dzikir yang dilakukan berupa membaca Al-Qur’an maka tidak dibolehkan membacanya dalam keadaan junub (hadats besar), baik membacanya dengan hafalan apalagi membacanya dengan membuka mushaf. 
Dari ‘Ali bin Abi Thaalib radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatangi jamban untuk membuang hajatnya. Setelah keluar dari jamban, lalu beliau makan daging dan roti bersama kami, dan membaca Al-Qur’an. Tidaklah menghalangi beliau dari membaca Al-Qur’an kecuali ketika beliau dalam keadaan junub.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Shahih).
5. Hendaknya berdzikir dengan penuh keikhlasan hanya mengharap pahala dan balasan dari Allah saja.
Allah berfirman, (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus…” (QS. Al-Bayyinah: 5).
Wallaahu a’lam. Wa shallallaahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad.

Keutamaan Para Shahabat Rasulullah


Bismillahirrahmanirrahim
Jika kita bertanya pada seseorang, siapakah yang paling kenal dengan si fulan? Mayoritas orang pasti akan menjawab keluarganya, yaitu istrinya. Selain itu akan muncul jawaban shahabat dekatnya. Sekarang jika ada yang bertanya kepada kita, siapakah yang paling mengenal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Ya, tentu para shahabat beliau.
Lantas, apa definisi dari shahabat Nabi? Yang dimaksud dengan shahabat adalah mereka yang bertemu dengan Nabi secara langsung, beriman kepada Nabi dan mati dalam keadaan beriman. Jika ia beriman kepada Nabi namun tidak bertemu Nabi, maka hal itu tidak disebut dengan shahabat. Misalnya adalah Raja Najasyi. (Ta’liq Mukhtashar ‘ala matni Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah, Syaikh Shalih Al-Fauzan)
Mencintai para shahabat Nabi adalah salah satu pokok di antara pokok-pokok seorang muslim yang benar aqidahnya. Karena banyak sekali ayat dari Al-Quran dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memuji para shahabat. Dan sudah sepantasnya, menjadi kewajiban kita sebagai seorang muslim untuk mencintai dan mendoakan kebaikan kepada para shahabat Nabi.

Pujian kepada Shahabat Nabi dari Al-QuranAllah ‘Azza wa Jalla berfirman (yang artinya), “Bagi orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin yang diusir dari negeri-negeri mereka dan meninggalkan harta-harta mereka karena mengharapkan keutamaan dari Allah dan keridhaan-Nya demi menolong agama Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Sedangkan orang-orang yang tinggal di negeri tersebut (Anshar) dan beriman sebelum mereka juga mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin) dan di dalam hati mereka tidak ada rasa butuh terhadap apa yang mereka berikan dan mereka lebih mengutamakan saudaranya daripada diri mereka sendiri walaupun mereka juga sedang berada dalam kesulitan” (QS. Al-Haysr : 8-9)
Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang terlebih dulu (berjasa kepada Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka Allah telah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Dan Allah telah mempersiapkan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang sangat besar” (QS. At-Taubah : 100)
Dalam ayat ini, Allah sangat jelas memuji kaum Muhajirin (yang berhijrah bersama Nabi dari Mekkah ke Madinah) dan kaum Anshar (yang menolong para Muhajirin). Allah menjanjikan surga kepada para shahabat dalam ayat ini.
Allah Ta’ala juga berfirman, “Sungguh Allah telah ridha kepada orang-orang yang beriman (para shahabat Nabi) ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon (Bai’at Ridwan). Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada mereka dan membalas mereka dengan kemenangan yang dekat” (QS. Al-Fath : 18)
Pujian kepada Shahabat Nabi dari As-SunnahRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Sebaik-baik umat manusia adalah generasiku (shahabat), kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (tabi’in) dan kemudian orang-orang yang mengikuti mereka lagi (tabi’ut tabi’in).” (Muttafaqun ‘alaih)
Allah Ta’ala berkata kepada para shahabat yang mengikuti perang Badr, “Beramallah sesuka kalian, sungguh aku telah mengampuni kalian” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda tentang para shahabat yang ikut dalam Bai’atu Ridwan, “Tidak akan masuk neraka seorang pun yang melakukan bai’at di bawah pohon (bai’atu ridwan)” (HR. Muslim)
Larangan Mencela Shahabat NabiNabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Janganlah kalian mencela seorang pun di antara para shahabatku. Karena sesungguhnya apabila seandainya ada salah satu di antara kalian yang bisa berinfak emas sebesar Gunung Uhud, maka itu tidak akan bisa menyaingi infak salah seorang di antara mereka; yang hanya sebesar genggaman tangan atau bahkan setengahnya” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas adalah kisah yang terjadi di antara dua orang shahabat Nabi, yaitu Khalid bin Walid dan ‘Abdurrahman bin ‘Auf. Karena sesuatu hal, Khalid bin Walid mencaci ‘Abdurrahman bin ‘Auf. Lihatlah wahai saudaraku seiman, padahal keduanya adalah shabahat Nabi yang mulia, namun Nabi melarang Khalid bin Walid mencela para shahabatnya. Jika seorang Khalid bin Walid, shahabat Nabi yang mulia, dilarang mencela para shahabat, lantas bagaimana dengan kita yang memiliki kedudukan sangat jauh di bawah kedudukan beliau?
Kedudukan Shahabat Nabi pun Bertingkat-TingkatMeskipun disebut shahabat Nabi, kedudukan mereka bertingkat-tingkat. Misalnya kaum Muhajirin itu lebih mulia dibandingkan dengan kaum Anshar. Shahabat yang ikut perang Badr kedudukannya lebih mulia dibandingkan dengan shahabat yang tidak ikut perang Badr. Bahkan harta yang mereka keluarkan di masa-masa awal dakwah Islam, lebih besar pahalanya dibandingkan saat Islam telah tersebar luas, meskipun harta yang dikeluarkan sedikit.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Al-Fath). Mereka itu lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu, dan masing-masing Allah telah janjikan kebaikan (surga) untuk mereka” (QS. Al-Hadid: 10)
Yang dimaksud Al-Fath di sini kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah perjanjian Hudaibiyah. Jadi, shahabat yang berperang dan berinfak sebelum perjanjian Hudaibiyah, lebih utama dibandingkan shahabat yang berperang dan berinfak setelah perjanjian Hudaibiyah. (lihat Al ‘Aqidah Al Wasithiyyah)
Urutan keutamaan para Shahabat Nabi :1. Khulafaur Rasyidin yang empat, yaitu Abu Bakr, ‘Umar bin Khattab, ‘Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib.
2. Sepuluh shahabat yang dijamin masuk surga selain empat khulafaur rasyidin di atas, yaitu Abu ‘Ubaidah ‘Amir bin Al Jarrah, Sa’ad bin Abi Waqqash, Sa’id bin Zaid, Zubair bin Al Awwam, Thalhah bin ‘Ubaidillah dan Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhum.
3. Para shahabat yang mengikuti Perang Badr, disebut juga Ahlul Badr
4. Para shahabat yang melakukan bai’at kepada Nabi di bawah pohon, disebut bai’atul ridwan
5. Para shahabat yang beriman dan berjihad sebelum perjanjian Hudaibiyah
6. Kaum Muhajirin secara umum
7. Kaum Anshar
(Ta’liq Mukhtashar ‘ala matni Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah, Syaikh Shalih Al-Fauzan)
Wajib Mengikuti Sunnahnya Para Shahabat
Semua kaum muslimin sepakat, bahwa yang dijadikan pegangan dan pedoman dalam Islam adalah Al-Quran dan As-Sunnah. Namun As-Sunnah di sini tidak hanya sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, namun sunnahnya para shahabat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “…Maka wajib bagi kalian untuk mengikuti sunnnahku dan sunnah khulafa ar raasyidin yang mereka telah diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dan gigitlah ia dengan gigi geraham…” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah. At-Tirmidzi mengatakan hadits hasan shahih)
Maka jelaslah dalam hadits di atas, Nabi sendiri yang memerintahkan untuk mengikuti sunnah beliau dan sunnah para shahabat beliau. Dan tidak ada jalan bagi kita selain ta’at dengan apa yang Nabi perintahkan.

Perkataan 4 Imam Madzhab di dalam Mengikuti Sunnah


Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullah-


Kiranya sangat bermanfaat untuk disajikan di sini sedikit atau sebagian perkataan mereka, dengan harapan, semoga di dalamnya terdapat pelajaran dan peringatan bagi orang yang mengikuti mereka, bahkan bagi orang yang mengikuti selain mereka yang lebih rendah derajatnya dari taqlid buta, dan bagi orang yang berpegang teguh kepada madzab-madzab dan perkataan-perkataan mereka, sebagaimana kalau madzab-madzab dan perkataan-perkataan itu turun dari langit. Allah Subhanahu Wa Taala, berfirman artinya: “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhan-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya)”. (QS. Al-Araf :3)

I. ABU HANIFAH
Yang pertama-tama diantara mereka adalah Imam Abu Hanifah An-Numan bin Tsabit. Para sahabatnya telah meriwayatkan banyak perkataan dan ungkapan darinya, yang semuanya melahirkan satu kesimpulan, yaitu kewajiban untuk berpegang teguh kepada hadits dan meninggalkan pendapat para imam yang bertentangan dengannya.
1. “Apabila hadits itu shahih, maka hidits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al-Hasyiyah 1/63)
2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya”. (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Intiqau fi Fadha ilits Tsalatsatil Aimmatil FuqahaI, hal. 145)
3. Dalam sebuah riwayat dikatakan: “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku”.
4. Di dalam sebuah riwayat ditambahkan: “sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari”.
5. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah dan kabar Rasulullah salallahu alaihi Wa Sallam, maka tinggalkanlah perkataanku”. (Al-Fulani di dalam Al-Iqazh, hal. 50)
II. MALIK BIN ANAS
Imam Malik berkata:
1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang salah dan benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan kitab dan sunnah, ambillah dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan sunnah, tinggalkanlah”. (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami, 2/32)
2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Salallhu Alaihi Wasallam”. (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)
3. Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang menyelang-nyelangi jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, “tidak ada hal itu pada manusia. Dia berkata. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya. Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu, maka dia berkata: Apakah itu? Aku berkata: Al-Laits bin Saad dan Ibnu Lahiah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al-Maafiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam menunjukkan kepadaku dengan kelingkingnya apa yang ada diantara jari-jari kedua kakinya. Maka dia berkata, “sesungguhnya hadist ini adalah Hasan, Aku mendengarnya hanya satu jam. Kemudian aku mendengarnya, setelah itu ditanya, lalu ia memerintahkan untuk menyelang-nyelangi jari-jari. (Mukaddimah Al-Jarhu wat Tadil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)
III. ASY-SYAFII
Adapun perkataan-perkataan yang diambil dari Imam Syafii di dalam hal ini lebih banyak dan lebih baik, dan para pengikutnya pun lebih banyak mengamalkannya. Di antaranya:
1. “Tidak ada seorangpun, kecuali dia harus bermadzab dengan Sunnah Rasulullah dan menyendiri dengannya. Walaupun aku mengucapkan satu ucapan dan mengasalkan kepada suatu asal di dalamnya dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam yang bertentangan dengan ucapanku. Maka peganglah sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Inilah ucapanku.” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir, 15/1/3)
2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena untuk mengikuti perkataan seseorang.” (Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal. 68)
3. “Apabila kamu mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka berkatalah dengan sunnah rasulullah Salallahu alaihi Wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam, 3/47/1)
4. “Apabila Hadist itu Shahih, maka dia adalah madzhabku.” (An-Nawawi di dalam Al-Majmu, Asy-Syarani, 10/57)
5. “kamu (Imam Ahmad) lebih tahu dari padaku tentang hadist dan orang-orangnya (Rijalu l-Hadits). Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, akan bermadzhab dengannya.” ( Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-SyafiI, 8/1)
6. “Setiap masalah yang didalamnya kabar dari Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam adalah shahih bagi ahli naqli dan bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku meralatnya di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Harawi, 47/1)
7. “Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya shahih, maka ketahuilah, sesungguhnya akalku telah bermadzhab dengannya.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Muaddab)
8. Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari nabi salallahu alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu mengikutiku.” (Aibnu Asakir, 15/9/2)
IV. AHMAD BIN HAMBAL
Imam Ahmad adalah salah seorang imam yang paling banyak mengumpulkan sunnah dan paling berpegang teguh kepadanya. Sehingga ia membenci penulisan buku-buku yang memuat cabang-cabang (furu) dan pendapat Oleh karena itu ia berkata:
1. “Janganlah engkau mengikuti aku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafii, Auzai dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al- Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-Ilam, 2/302)
2. “Pendapat AuzaI, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan alasan hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar.” (Ibnul Abdl Barr di dalam Al-Jami, 2/149)
3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah Salallahu alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi kehancuran.” (Ibnul Jauzi, 182).
Allah berfirman: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (An-Nisa:65), dan firman-Nya: “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (An-Nur:63).
Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata: “Adalah menjadi kewajiban bagi setiap orang yang telah sampai kepadanya perintah Rasulullah Salallahu Alaihi Wa Sallam dan mengetahuinya untuk menerangkannya kepada umat, menasehati mereka dan memerintahkan kepada mereka untuk mengikuti perintahnya. Dan apabila hal itu bertentangan dengan pendapat orang besar diantara umat, maka sesungguhnya perintah Rasulullah salallahu alaihi wa Sallam itu lebih berhak untuk disebarkan dan diikuti dibanding pendapat orang besar manapun yang telah bertentangan dengan perintahnya di dalam sebagian perkara secara salah. Dan dari sini, para sahabat dan orang-orang setelah mereka telah menolak setiap orang yang menentang sunnah yang sahih, dan barangkali mereka telah berlaku keras dalam penolakan ini. Namun demikian, mereka tidak membencinya, bahkan dia dicintai dan diagungkan di dalam hati mereka. Akan tetapi, Rasulullah Salallahu alaihi wa Sallam adalah lebih dicintai oleh mereka dan perintahnya melebihi setiap makhluk lainnya.
Oleh karena itu, apabila perintah rasul itu bertentangan dengan perintah selainnya, maka perintah rasul adalah lebih utama untuk didahulukan dan diikuti. Hal ini tidak dihalang-halangi oleh pengagungan terhadap orang yang bertentangan dengan perintahnya, walaupun orang itu mendapat ampunan. Orang yang bertentangan itu tidak membenci apabila perintahnya itu diingkari apabila memang ternyata perintah Rasulullah itu bertentangan dengannya. Bagaimana mungkin mereka akan membenci hal itu, sedangkan mereka telah memerintahkan kepada para pengikutnya, dan mereka telah mewajibkan mereka untuk meninggalkan perkataan-perkataan yang bertentangan dengan sunnah.”
(Di sadur dari Mukaddimah Kitab Shifatu Shalatiin Nabii SAW, karya Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullah).

Sikap Hikmah dalam Berdakwah (Bag-2 Habis)


CONTOH-CONTOH PRAKTEK AKHLAK MULIA YANG MENENTUKAN KEBERHASILAN DAKWAH
4. Santun dalam menyampaikan nasehat, sambil memperhatikan kondisi psikologis orang yang dinasehati.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam bersabda,
“وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ”
“Ucapan yang baik adalah shadaqah”. HR. Bukhari (hal. 606 no. 2989) dan Muslim (VII/96 no. 2332).
Kita bisa mengambil suri tauladan dari metode Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam dalam menasehati para sahabatnya.
Abu Umamah bercerita, “Suatu hari ada seorang pemuda yang mendatangi Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallamseraya berkata, “Wahai Rasulullah, izinkan aku berzina!”. Orang-orang pun bergegas mendatanginya dan menghardiknya, mereka berkata, “Diam kamu, diam!”. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam berkata, “Mendekatlah”. Pemuda tadi mendekati beliau dan duduk.

Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam bertanya, “Relakah engkau jika ibumu dizinai orang lain?”. “Tidak demi Allah wahai Rasul” sahut pemuda tersebut. “Begitu pula orang lain tidak rela kalau ibu mereka dizinai”. “Relakah engkau jika putrimu dizinai orang?”. “Tidak demi Allah wahai Rasul!”. “Begitu pula orang lain tidak rela jika putri mereka dizinai”. “Relakah engkau jika saudari kandungmu dizinai?”. “Tidak demi Allah wahai Rasul!”. “Begitu pula orang lain tidak rela jika saudara perempuan mereka dizinai”. “Relakah engkau jika bibi dari jalur bapakmu dizinai?”. “Tidak demi Allah wahai Rasul!”. “Begitu pula orang lain tidak rela jika bibi mereka dizinai”. “Relakah engkau jika bibi dari jalur ibumu dizinai?”. “Tidak demi Allah wahai Rasul!”. “Begitu pula orang lain tidak rela jika bibi mereka dizinai”.
Lalu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam meletakkan tangannya di dada pemuda tersebut sembari berkata, “Ya Allah, ampunilah kekhilafannya, sucikanlah hatinya dan jagalah kemaluannya”.
Setelah kejadian tersebut, pemuda itu tidak pernah lagi tertarik untuk berbuat zina”. HR. Ahmad (XXXVI/545 no. 22211) dan sanadnya dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani.
Cermatilah bagaimana Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam tidak langsung menyalahkan pemuda tadi. Namun dengan sabar beliau mengajak pemuda tadi untuk berpikir sambil beliau juga memperhatikan kondisi psikologisnya. Mungkin sebagian kalangan yang kurang paham menilai bahwa metode tersebut terlalu panjang dan bertele-tele. Namun lihatlah apa hasilnya? Memang jalan dakwah itu panjang dan membutuhkan kesabaran.
5. Bersifat pemaaf terhadap orang yang menyakiti dan membalas keburukan dengan kebaikan.
Allah ta’ala berfirman,
“خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ”.
“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan kebajikan, serta jangan pedulikan orang-orang jahil”. QS. Al-A’raf: 199.
Adapun potret praktek akhlak mulia ini dalam kehidupan Rasul Shalallahu ‘alaihi wassallam amatlah banyak, baik dengan sesama muslim, maupun dengan para musuh beliau dari kalangan orang-orang kafir dan kaum musyrikin.
Di antara contoh jenis pertama, apa yang dikisahkan Anas bin Malik,
“Suatu hari aku berjalan bersama Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam dan saat itu beliau berpakaian kain buatan Najran yang tepinya kasar. Tiba-tiba datanglah seorang Arab badui dari belakang dan menarik keras kain beliau, hingga aku melihat di pundaknya tergaris merah bekas kasarnya tarikan dia. Sembari berkata, “Berilah aku sebagian dari harta yang Allah berikan padamu!”. Beliaupun menengok kepadanya sembari tersenyum lalu memerintahkan agar ia diberi sebagian harta”. HR. Bukhari (hal. 642 no. 3149) dan Muslim (VII/147 no. 2426).
Contoh jenis kedua antara lain: apa yang dikisahkan Aisyah radhiyallahu’anha,
“Suatu hari aku bertanya kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam, “Wahai Rasululllah, apakah engkau pernah melewati suatu hari yang lebih berat dibanding hari peperangan Uhud?”.
Beliau menjawab, “Aku telah menghadapi berbagai cobaan dari kaummu, dan cobaan yang paling kurasa berat adalah kejadian di hari Aqabah. Saat itu aku menawarkan dakwah kepada Ibn Abd Yâlil bin Abd Kulal, namun ia enggan menerimaku. Akupun pergi dalam keadaan amat sedih dan tidak tersadar melainkan tatkala sampai di Qarn ats-Tsa’âlib. Aku pun mendongakkan kepala, ternyata di atasku ada sebuah awan yang menaungiku. Kulihat di sana ada malaikat Jibril, ia memanggilku, “Sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu dan bantahan mereka padamu. Allah telah mengirimkan untukmu malaikat gunung, supaya engkau memerintahkannya melakukan apa saja kepada mereka sesuai kehendakmu”. Malaikat gunung pun memanggilku dan mengucapkan salam lalu berkata, “Wahai Muhammad, jika engkau mau, akan kutimpakan dua gunung atas mereka!”. Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam pun menjawab, “Justru aku berharap, semoga Allah berkenan menjadikan keturunan mereka generasi yang mau beribadah kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan suatu apapun”. HR. Muslim (XII/365 no. 4629).
Biografi para ulama Islam penuh dengan contoh praktek sifat mulia ini. Salah satunya adalah Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah. Berikut ini adalah contoh praktek beliau dalam hal ini:
Contoh pertama: Suatu hari segerombolan ahlul bid’ah mencegat Ibn Taimiyah lalu mereka memukuli beliau ramai-ramai dan pergi. Tatkala kabar itu sampai ke telinga murid-murid dan para pendukung beliau, mereka pun bergegas datang kepadanya, untuk minta izin guna membalas dendam perbuatan jahat gerombolan ahlul bid’ah itu.
Namun Ibn Taimiyah melarang mereka, seraya berkata, “Kalian tidak boleh melakukan hal itu”. “Perbuatan mereka pun juga tidak boleh didiamkan, kami sudah tidak tahan lagi!”, tukas mereka.
Ibn Taimiyah menimpali, “Hanya ada tiga kemungkinan; hak untuk balas dendam itu milikku, atau milik kalian, atau milik Allah. Seandainya hak untuk balas dendam itu adalah milikku maka aku telah memaafkan mereka! Jika hak itu adalah milik kalian, seandainya kalian tidak mau mendengar nasehatku dan fatwaku maka berbuatlah semau kalian! Andaikan hak itu adalah milik Allah, maka Dia yang akan membalas jika Dia berkehendak!”. [Lih. Al-'Uqûd ad-Durriyyah karya Ibn Abdil Hadi (hal. 224-225)]
Contoh kedua: Kisah makar ahlul bid’ah untuk menggantung Ibnu Taimiyyah.
Di antara penguasa yang mencintai dan mendukung dakwah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah Sultan Muhammad Qalawun. Di suatu tahun Sultan Qalawun pergi berhaji ke baitullah. Selama dia melakukan ibadah haji pemerintahan diserahkan kepada salah seorang wakilnya: Sultan al-Muzhaffar Ruknuddin Piprus, yang kebetulan dia adalah murid salah satu tokoh sufi abad itu: Nashr al-Manbajy, dan al-Manbajy ini amat benci sekali terhadap Ibnu Taimiyah.
Tatkala Piprus mengambil tampuk pemerintahan, ahlul bid’ah pun segera menyusun makar agar pemerintah mengeluarkan surat perintah hukum mati Ibnu Taimiyah. Namun sebelum makar mereka berhasil, Sultan Qalawun keburu kembali dari haji.
Tatkala mendengar berita akan makar ahlul bid’ah tersebut, Sultan Qalawun pun marah besar dan memerintahkan bawahannya untuk menghukum mati para pelaku makar tersebut. Tatkala mendengar berita itu, Ibn Taimiyah bergegas datang ke Sultan Qalawun dan berkata, “Adapun saya maka telah memaafkan mereka semua”. Akhirnya Sultan pun memaafkan mereka.
Setelah peristiwa itu, salah seorang musuh besar Ibn Taimiyah: Zainuddin bin Makhluf pun berkata, “Tidak pernah kita mendapatkan orang setakwa Ibn Taimiyah! Setiap ada kesempatan untuk mencelakakannya kami berusaha untuk memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya. Namun tatkala dia memiliki kesempatan untuk membalas, malah dia memaafkan kami!”. [Al-'Uqûd ad-Durriyyah karya Ibn Abdil Hadi hal. 221]
Begitulah orang-orang berjiwa besar menyikapi kejahatan orang lain, dan lihatlah buahnya! Disegani lawan maupun kawan. Betapa banyak musuh bebuyutan yang berubah menjadi teman seperjuangan; berkat taufiq dari Allah dan ketulusan hati para da’i.
6. Menahan diri dari meminta-minta apa yang dimiliki orang lain.
Sifat ini lebih dikenal para ulama dengan istilah ‘iffah atau ‘afâf. Ini merupakan salah satu karakter para sahabat Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam sebagaimana Allah ceritakan dalam al-Qur’an,
“(Orang lain) yang tidak tahu menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya; karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau (wahai Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta dengan cara mendesak kepada orang lain”. (QS. Al-Baqarah: 273).
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam bersabda:
“مَنْ يَسْتَعِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ”.
“Barang siapa menjaga kehormatan dirinya (dengan tidak meminta-minta kepada manusia dan berambisi untuk memperoleh apa yang ada di tangan mereka) niscaya Allah akan menganugerahkan kepadanya iffah (kehormatan diri). Dan barang siapa merasa diri berkecukupan; niscaya Allah akan mencukupinya”. HR. Bukhari (hal. 283 no. 1427) dan Muslim (VII/145 no. 2421) dari Hakîm bin Hizâm.
KORELASI ANTARA SIFAT ‘IFFAH & KEBERHASILAN DAKWAH
Pertama: Orang yang menjaga diri dari meminta apa yang dimiliki orang lain, juga tidak silau dengan apa yang dimiliki orang lain; akan dicintai mereka. Sebab secara tabiat manusia tidak menyukai orang lain yang meminta-minta apa yang dimilikinya. Hal itu telah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam isyaratkan dalam nasehatnya untuk seseorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, beritahukan padaku suatu amalan yang jika kukerjakan; aku akan disayang Allah dan dicintai manusia!”. Beliaupun menjawab,
“ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ، وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ”.
“Bersifat zuhudlah di dunia; niscaya engkau akan disayang Allah. Dan bersikap zuhudlah dari apa yang ada di tangan manusia; niscaya mereka mencintaimu”. HR. Ibn Majah (IV/163 no. 4177) dari Sahl bin Sa’d as-Sâ’idy dan sanadnya dinilai hasan oleh Imam an-Nawawy dalam Riyâdh ash-Shâlihîn (hal. 216).
Jika seorang da’i telah dicintai masyarakat, maka mereka akan lebih mudah untuk menerima dakwahnya.
Kedua: Orang yang memiliki sifat ‘afâf, ketika ia berdakwah, masyarakat akan menilai bahwa dakwahnya tersebut ikhlas karena Allah, bukan karena mengharapkan balasan duniawi dari mereka. Saat mereka merasakan ketulusan niat da’i tersebut; jelas -dengan izin Allah- mereka akan lebih mudah untuk menerima dakwahnya. Allah ta’ala berfirman,
“اتَّبِعُوا مَن لاَّ يَسْأَلُكُمْ أَجْراً وَهُم مُّهْتَدُونَ”.
“Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. QS. Yasin: 21.
***
Oleh : Ust. Abdullah Zaen, MA
Dirangkum oleh: Redaksi al-Hujjah, dari makalah penulis yang berjudul:
“Berdakwah Dengan Akhlak Mulia”.

Template Information

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. BELAJAR ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger