12 Sifat Hamba yang ‘Ibaadurahman
Menjadi hamba pilihan adalah dambaan setiap orang. Disamping beriman dan berilmu, ia juga memiliki akhlak yang baik. Bila kita memahami dan merenungi firman Allah subhanahu wa Ta’ala, sifat-sifat ‘Ibadurrahman ini telah tercantum di dalam Al Qur’an surat Al Furqan: 63 - 74 yang sering kita baca. Kemudian apa saja dan bagaimana sifat - sifat hamba-hamba Allah yang beriman yang dimaksud pada ayat tersebut? Berikut pembahasannya :
Sebagaimana firman Allah subahanu wa Ta’ala :
“......( ialah ) orang -orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati....” (Al-Furqan: 63)
Imam Ibnu Katsir rahimahulllah menafsirkan ayat ini bahwa inilah sifat-sifat hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang beriman, ”Orang-orang yang berjalan dimuka bumi dengan rendah hati ( tawadhu’), berjalan di muka bumi dengan ramah dan lemah lembut, tidak berpura-pura dalam gaya berjalannya dan tidak dengan kesombongan, tidak berjalan dengan gaya yang dibuat-buat serta tidak lemah. Dan yang dimaksud bukanlah bahwa mereka berjalan seperti orang yang sakit, dalam keadaan lemah dan dalam rangka riya’ karena Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri apabila berjalan maka seakan -akan beliau adalah air yang mengalir dari tempat yang tinggi dan seolah-olah bumi dilipat untuk beliau.”
Al haun adalah gaya berjalan seseorang yang sesuai dengan karakter aslinya, tidak berpura-pura dan tidak pula sombong, sedangkan gaya berjalan yang sombong dibenci, kecuali dalam perang di jalan Allah.
Yang dimaksud dengan kata “ rendah hati” disini adalah ketenangan dan kewibawaan Sebagaimana dalam sebuah hadist, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”
))إذَا أُقِيمَتُ الصَّلاةُ فَالا تَأْ تُوْهَا تَسْعَوْنَ ، وَأْتُوْهَا تَمْشُونَ عَلَيْكُمُ السَّكِيْنَتةُ ، فَماَأدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَماَ فاَتَكُمْ فأَتِمُّوا ((
Artinya: “Apabila shalat telah ditegakkan ( iqamat ), maka janganlah kalian mendatanginya dengan tergesa-gesa, datangilah dengan berjalan biasa dan wajib bagi kalian untuk tenang sehingga rekaan berapapun yang kalian dapat, langsunglah kalian shalat ( dibelakang imam), dan berapa rekaan rekaatpun yang tertinggal dari kalian maka sempurnakanlah...” (Muttafaq’alaih)
Sehingga maksud “orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati” yaitu bukanlah mereka yang berjalan dengan menundukkan kepalanya, sempoyongan, sebagaimana yang difahami sebagian orang yang ingin menampakkan ketakwaan dan kebaikannya.
Ketika Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu melihat seorang pemuda yang berjalan dengan lambat, ia bertanya kepadanya: ”Apakah kamu sedang sakit?“ Ia menjawab, “ Tidak.” Beliaupun memerintahkan pemuda itu untuk berjalan dengan cepat dan penuh kekuatan1
2. Sifat Kedua : Membalas Kejelekan dengan Kebaikan
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, ”....dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata ( yang mengandung ) keselamatan.” (Al Furqan: 63)
Jika orang-orang bodoh mengumpat mereka dengan ucapan yang buruk, mereka tidak membalasnya dengan ucapan yang buruk pula, tetapi memaafkan, membiarkan, dan tidak membalas kecuali dengan perkataan yang baik. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membalas perbuatan bodoh (jahil) mereka melainkan dengan kesabaran dan lemah lembut,
“Qaalu Salaaman”: ada beberapa pendapat dalam memaknai kata “salaaman” yaitu :
1. Tidak bertindak bodoh kepada seorang pun dan jika ada yang bertindak bodoh kepada mereka, mereka akan berlemah lembut kepadanya.
2. Mereka berkata dengan perkataan yang benar tidak menyakiti dan tidak mengandung dosa. Dan ini merupakan pendapat imam Mujahid, yang menjelaskan tentang makna dari kata “salaaman” yaitu kebenaran, yang dimaksud adalah mereka (‘Ibadurrahman).
3. Ada yang berpendapat, ”Jika orang-orang tolol mengarahkan kepada mereka ucapan yang buruk dan perkataan yang keji, mereka mengatakan kepada orng-orang tersebut, ”Salaaman” yaitu, ”Uacapan keselamatan dari kalian,” itu merupakan ucapan salam perpisahan, bukan penghormatan.”
Maka sifat ‘Ibadurrahman adalah tidak membalas perkataan yang buruk dengan perkataan yang serupa. Dan ketika orang-orang dungu melontarkan kalimat yang rendah, ucapan yang buruk dan ungkapan yang keji lagi jelek, merekapun berpaling dan berkata: semoga keselamatan menimpa kalian, kami tidak mengharapkan orang-orang yang bodoh.
Imam Ahmad meriwayatkan dari An-Nu’man bin Muqrin Al Muzani, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika ada seseorang mencaci orang yang ada di dekat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian orang yang dicaci itu berkata: bagimu keselamatan, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya seorang malaikat yang ada diantara kalian berdua, setiap kali orang itu mencacimu, dia akan membelamu, ia berkata kepada pencaci itu, Bahkan kamu dan kamu yang lebih pantas mendapatkan cacian tersebut, dan apabila kamu mengatakan kepadanya, ’Bagimu keselamatan’, malaikat akan berkata, Tidaklah untuknya, tetapi untuk kamu, kamu lebih pantas mendapatkannya.” ( HR. Ahmad )2
3. Sifat Ketiga : Senantiasa Tahajjud di Keheningan Malam
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya, ”Dan orang-orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka.” (Al Furqan: 64)
Sifat ketiga untuk menjadi hamba yang ‘Ibadurrahman yaitu senantiasa tahajjud dikeheningan malam di saat kebanyakan manusia sedang tidur atau menghabiskan malam untuk waktu istirahat mereka. Pada kondisi inilah disaat hati sedang tenang karena jauh dari berbagai kesibukan urusan dunia.
Mereka adalah orang yang menyedikitkan tidurnya, menjauhkan diri dari hal-hal yang melalaikan jiwa mereka di malam hari. Rasa takut dan harapan mereka terhadap Rabb mereka telah mampu menjadikan mereka sebagai manusia-manusia penghidup malam.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, ”Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa-apa rizki yang kami berikan.” (As-Sajdah: 16)
Juga dalam surat Ad Dzaariyat ayat 17-18, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, ”Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhir-akhir malam, mereka memohon ampun.”
Pengkhususan waktu malam dalam ayat di atas dikarenakan ibadah dalam waktu malam lebih bisa menghadirkan kekusyukan dan lebih menjauhkan dari riya’, rasa ingin dilihat, diperhatikan dsb.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, ”Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.” ( QS. Al Muzammil: 6 )
Waktu malam merupakan waktu yang tepat untuk beribadah dan bermunajat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Waktu yang mustajab untuk berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Rabb kami yang Maha Berkah lagi Maha Tinggi turun setiap malam ke langit dunia hingga tersisa sepertiga akhir malam, lalu Berfirman: ‘Barangsiapa yang berdoa, maka Aku akan kabulkan, barangsiapa yang memohon, pasti Aku akan perkenankan dan barangsiapa yang meminta ampun, pasti Aku akan mengampuninya.’” ( HR. Al Bukhari)3
4. Sifat Keempat: Ketakutan Mereka dari Adzab Neraka Jahannam
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Rabb kami, jauhkan adzab Jahannam dari kami, sesungguhnya adzabnya itu adalah kebinasaan yang kekal.’ Sesungguhnya Jahannam itu seburuk - buruk tempat menetap dan tempat kediaman.” ( Al Furqan : 65-66 )
Sifat hamba yang ‘Ibadurrahman adalah mereka takut terhadap adzab neraka Jahannam. Secara umum makna ayat ini yaitu Sesungguhnya mereka beribadah kepada Rabb mereka, mereka takut terhadap siksa-siksa-Nya, sesungguhnya adzab Rabb mereka, tidak ada orang yang merasa aman dari kedatangannya, sehingga diantara mereka ada yang tamak dan senantiasa mengharapkan rahmat dari Allah, berada dalam ketakutan, dan kekhawatiran terhadap adzab serta siksaan-Nya. Begitu pula keadaan orang-orang yang beriman kepada Allah , mereka tidak pernah putus asa memohon kepada Allah , dan tidak pernah merasa tenang akan siksa dari-Nya. (Diriwayatkan oleh Thabrani di dalam Al- Ausath)
Kedahsyatan adzab neraka Jahannam sudah banyak digambarkan melalui ayat-ayat Al Qur’an. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam menerangkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dihadapannya ada Jahannam dan dia diberi minuman dengan air nanah itu dan hampir dia tidak bisa menelannya dan datanglah (bahaya) maut kepadanya dari segenap penjuru, tetapi dia tidak juga mati, dan dihadapannya masih ada adzab yang berat.” (QS. Ibrahim: 16-17).
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Air itu akan didekatkan ke mulutnya (penghuni neraka), namun ia menolak, maka air itu memanggang wajahnya dan tumpah ke kulit kepadanya. Sehingga jika ia meminumnya, maka iapun memotong-motong usus-ususnya lalu keluar dari duburnya. Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Dan mereka diberi minum dengan air hamim, sehingga air tersebut memotong-motong usus-ususnya,’ (QS. Muhammad: 15) dan berfirman , Dan katakanlah, ’...dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.’” (QS. Al Kahfi: 2 )4
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, ”Al Muhli berarti air yang kasar seperti endapan minyak. Air itu hitam, bau, kasar, dan panas. Karena itu Allah berfirman, ”Yang menghanguskan muka” karena demikian panasnya. Jika orang kafir akan meminumnya lalu dia mendekatkan ke wajahnya, maka hanguslah mukanya dan berjatuhan kulit wajahnya.
Dan masih banyak kengerian-kengerian siksa neraka Jahannam yang akan diberikan kepada calon penghuninya.
5. Sifat Kelima: Tidak Berlebihan dalam Membelanjakan Harta
Firman Allah subhanahu wa ta’ala, ”Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al Furqan: 67)
Maknanya adalah sesungguhnya diantara sifat mereka bahwa mereka senantiasa bersikap pertengahan dalam infaq mereka sehingga mereka tidak israf dengan melampaui batas yang tidak disyari’atkan Allah dan tidak pula mereka bakhil, lebih-lebih taqtir dan menyempitkan hingga di bawah batasan. Sesungguhnya mereka adil dan tengah-tengah dalam melakukannya karena mengetahui bahwa sebaik-baik urusan adalah pertengahannya, sehingga di dalam kehidupan mereka, mereka adalah tauladan yang dapat ditiru di dalam sikap ekonomis dan pertengahan serta seimbang.
Jadi kedua sifat yang harus dihindari yaitu israf dan taqtir. Penyianyiaan harta yang bukan pada tempatnya merupakan bentuk Israf sedangkan taqtir adalah pengumpulan harta untuk dirinya sendiri. Maka hamba yang ‘Ibadurrahman dia adalah pertengahan dan seimbang dalam menggunakan hartanya.
Banyak sekali dalil-dalil yang membahas tentang masalah harta ini, baik itu berupa pahala atau balasan kebaikan ataupun ancaman bagi orang yang menyia-nyiakannya. Sebagaimana dalam sebuah hadist, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Tidak ada satuhari pun yang didalamnya para hamba berpagi hari kecuali akan turun dua malaikat, kemudian satunya berkata: Ya Allah berikanlah ganti kepada orang yang berinfak, sedangkan yang satunya berdoa, ’Ya Allah berikanlah kehancuran bagi orang yang menahan hartanya (kikir).’” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Wahai anak Adam, kamu menginfakan karunia merupakan kebaikan bagimu, dan jika kamu menahannya, maka itu merupakan kejelekan bagimu, tidak ada celaan rizki yang mencukupi, mulailah dari anggota keluarga yang kamu tanggung. Dan tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.” (Dikeluarkan Imam Ahmad dalam Al Musnad dan Thabrani dalam Al Mu’jam Al Kabir)
6. Sifat Keenam: Tidak Beribadah kepada ilah yang lain beserta Allah
Sebagaimana dalam surat Al Furqan ayat 68, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, ”Dan orang-orang yang tidak beribadah kepada ilah yang lain beserta Allah...” (Al Furqan: 68)
Maknanya adalah yaitu mereka tidak menjadikan sekutu bagi Allah, baik dalam ibadah maupun akidah mereka. Mereka mengikhlaskan ibadah mereka hanya kepada Allah semata.
Tidak boleh beribadah atau bersumpah yang ditujukan kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala karena ini termasuk perbuatan syirik.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Barangsiapa yang bersumpah dengan selain Allah, maka sungguh ia telah berbuat syirik.” (HR. Ahmad dan Abu Daud, dan dishahihkan oleh Hakim dan Ibnu Hibban)
Syirik (menyekutukan Allah) merupakan dosa yang terbesar. Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abu Bakrah, dari ayahnya radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Kami pernah berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau bersabda, ”Perhatikanlah, aku akan memberitahu kamu sekalian dosa yang terbesar (beliau mengulanginya tiga kali): Menyekutukan Allah, berani kepada orangtua, dan kesaksian yang dusta (atau: ucapan dusta),” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semula berdiri sambil bersandar kemudian duduk. Beliau selalu mengulang-ulang sabda itu sehingga kami mengatakan, ”Semoga beliau diam.” (HR. Bukhari: 2654)
Terkadang seseorang tidak sadar atau tidak merasa bahwa dia melakukan perbuatan syirik ini. Ketika seseorang tidak ikhlas dalam beribadah dan bermu’amalah atau semata-mata untuk mencari keuntungan dirinya sendiri atau untuk hal-hal yang bersifat keduniaan sehingga ada bagian untuk Allah dari amal dan usahanya, dan ada pula bagian untuk kepentingan hawa nafsunya, maupun kepada selain-Nya maka hal seperti ini yang kebanyakan terjadi pada umat ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, ”Dan syirik yang akan menimpa umat ini lebih tersembunyi (tidak terlihat) dari rayapan semut,” Para shahabat bertanya, ”Lalu bagaimana kami bisa selamat dari syirik tersebut, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, ”Ucapkanlah:
((اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَناَ أَعْلَمُ وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ ))
Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari berbuat syirik kepada-Mu dan aku mengetahuinya, serta aku memohon ampunan kepada-Mu dari apa yang tidak aku ketahui.” (Riwayat Ibnu Hibban dalam shahihnya)
Perbuatan Riya’ termasuk perbuatan syirik (syirik kecil). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, ”Katakanlah, sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku, ‘Bahwa sesungguhnya ilah kamu itu adalah ilah yang Esa,’ Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabb-nya.” (Al Kahfi:
12 SIFAT HAMBA YANG ‘IBAADURRAHMAN (bagian II)
7. Sifat KeTujuh: Tidak Membunuh
Firman Allah dalam surat Al Furqan, ” .....dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya kecuali dengan (alasa ) yang benar...” (Al Furqan: 68)
Makna dari ayat di atas adalah bahwa mereka tidak akan membunuh satu jiwapun yang telah diharamkan Allah subhanahu wa ta’ala karena sebab apapun kecuali dengan sebab kebenaran yang menghilangkan keterlindungannya dan kehormatannya seperti kufur setelah dia beriman, berzina setelah dia menikah, membunuh manusia tanpa dosa yang mengharuskannya dibunuh.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu , bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Pada hari kiamat kelak, orang yang dibunuh akan datang dengan orang pembunuhnya, ubun-ubun dan kepala orang yang dibunuh ada di tangan pembunuh dan urat lehernya mengalirkan darah, kemudian orang yang dibunuh berkata, ‘Wahai Rabbku, tanyakanlah kepada orang ini (pembunuh) kenapa dia membunuhku,’ Lalu orang-orang menyebutkan tentang taubat kepada Ibnu Abbas, maka beliaupun membaca ayat:
‘Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah neraka Jahannam dan ia kekal didalamnya...’ (An Nisa : 93 ), kemudian ia berkata, ’Ayat tidak pernah di nasakh (dihapus) dan tidak pula diganti, lalu bagaimana ia akan bertaubat.’” (Dikeluarkan oleh Tirmidzi dan ia berkata : Hadist ini Hasan)
8. Sifat Kedelapan: Tidak Berzina
Sebagaimana Firman Allah subhanahu wa ta’ala, ”....dan tidak berzina....” ( Al Furqan: 68 )
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr, bahwa ia berkata: “Atsaaman yaitu sebuah telaga di Jahannam.” Ikrimah berkata: (يلْق أثَامًا) yaitu telaga-telaga di Neraka Jahannam tempat mengadzab para pezina. Demikian yang diriwayatkan dari Sa’id bin Jubair dan Mujahid.
Imam Ahmad berkata, ”Saya tidak mengetahui dosa yang lebih besar setelah membunuh jiwa kecuali berzina, dan Allah telah menguatkan keharamannya dengan firman-Nya, ”Dan orang-orang yang tidak menyembah ilah yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah ( membunuhnya) kecuali dengan (alasan )yang benar, dan tidak berzina..” (Al Furqan: 68)
Dalam surat Al Isra Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman, ”Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isra:32 )
Abu Bakar bin Abid Dunya meriwayatkan dari Al-Haitsam bin Malik at- Tha’i dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, ”Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik dalam pandangan Allah selain meletakkan air mani dalam rahim wanita yang tidak halal untuk digauli.“
Luqman mengatakan kepada anaknya, ”Hai anakku, janganlah kamu berzina. Perzinaan itu mulanya diliputi rasa khawatir dan akhirnya diliputi penyesalan.”
Seperti yang telah terjadi pada zaman sekarang ini dimana tempat-tempat perzinaan sudah merajalela. Tidak mengenal siang maupun malam, hanya digunakan untuk berbuat maksiat. Bahkan perzinaan tidak terjadi pada kalangan dewasa saja tetapi juga di kalangan pelajar sekarang ini. SMP. SMA, Mahasiswa dan kalau ingin dicari bukti sudah cukup banyak. Padahal sudah banyak peringatan-peringatan dan ancaman dari Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya tentang perbuatan ini. Karena banyak sekali kerusakan atau kerugian -kerugian yang akan ditanggung tidak hanya di dunia saja tetai juga di akherat kelak tentang pertanggungjawaban di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala.
Imam Ar Razi telah menyampaikan kerusakan-kerusakan yang diakibatkan perbuatan zina. Dan berikut paparan ringkas kerusakan -kerusakan yang diakibatkan perbuatan tersebut :
Pertama, tercampurnya dan kesamaran di dalam keturunan, karena seseorang tidak mengetahui bahwa anak yang dilahirkan perempuan yang berzina apakah itu berasal darinya atau dari orang lain.
Kedua, jika tidak ada sebab syar’i yang karenanya seorang laki-laki memiliki kekhususan atas seorang perempuan, maka tidak ada cara untuk mencapai kekhususan itu kecuali saling mengalahkan atau membunuh
Ketiga, sesungguhnya apabila seorang perempuan sudah melakukan zina, maka setiap tabiat yang masih lurus akan dianggapnya kotor, dan ketika itu ia tidak akan mendapatkan kasih sayang dan kecintaan serta ketenangan dan dualismenya tidak akan sempurna.
Keempat, kapan saja pintu zina dibuka, maka ketika itu tidak aka nada kekhususan seorang laki-laki atas seorang perempuan dan saat itu pula tidak ada lagi perbedaan antara manusia serta binatang dalam persoalan itu.
Kelima, seorang wanita bukan hanya sebagai sarana pemenuhan kebutuhan syahwat, akan tetapi perempuan merupakan partner bagi laki-laki dalam membina rumah tangga dan menyiapkan segala keperluannya. Dan kepentingan itu tidak aka sempurna kecuali apabila kepentingan seorang perempuan sudah dibatasi pada seorang laki-laki saja, memutuskan harapan dari semua laki-laki , dan semua itu tidak akan tercapai kecuali dengan diharamkannya zina, maka akal sehat akan mengatakan bahwa zina adalah kejahatan.
9. Sifat Kesembilan: Tidak Bersumpah Palsu
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, ”Dan orang - orang yang tidak memberikan persaksian palsu...” (QS. Al Furqan: 72)
Ini pun termasuk sifat-sifat ‘Ibadurrahman yaitu mereka tidak menyaksikan az-zuur. Tentang az-zuur ini ada beberapa pendapat :
- Ada yang mengatakan az-zuur yaitu syirik dan menyembah berhala
- Ada yang berpendapat az-zuur adalah dusta, fasik, kufur, permainan dan kebathilan
- Pendapat lain yang dimaksud dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala ( لايَشْهَدُو ن الزُّورَ ) adalah tidak memberikan persaksian palsu, yaitu berdusta secara sengaja kepada orang lain. Sebagaimana tercantum di dalam ash-Shahihain, bahwa Abu Bakrah berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Maukah kuberitahukan kalian tentang dosa besar yang paling besar?” (beliau mengucapkan 3 kali). Kami pun menjawab: ‘Tentu ya Rasulullah.’ Beliau bersabda: ‘Menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.’ Beliau ( dalam keadaan) bersandar, lalu duduk tegak, dan bersabda: ’Hati hatilah dengan persaksian palsu, hati-hatilah persaksian palsu. ’Beliau terus mengulang-ulangnya hingga kami berkata: ’Seandainya (semoga) beliau diam (tidak diulang-ulang lagi).’
Imam Ibnu Katsir juga mengatakan bahwa pendapat yang lebih jelas berdasarkan rangkaian kalimat tersebut adalah bahwa yang dimaksud dengan tidak menyaksikan az-zuur adalah tidak menghadirinya.
10. Sifat Kesepuluh: Tidak melakukan perbuatan yang tidak berguna
Firman Allah subhanahu wa ta’ala, ”...dan apabila mereka bertemu dengan orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat , mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.”(QS. Al Furqan: 72)
Mereka tidak mendatangi tempat-tempat keburukan. Jika mereka melewatinya secara kebetulan tanpa dikotori sedikitpun. Sehingga Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, ”Mereka melewati saja dengan menjaga kehormatan dirinya.”
Ibnu Hatim meriwayatkan dari Ibrahim bin Maisarah, ”Ibnu Mas’ud melewati pertunjukan musik, namun dia tidak berhenti. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ’Pagi-pagi dan petang hari Ibnu Mas’ud menjadi orang yang mulia.’”
Kemudian Ibrahim bin Maisarah membaca ayat, ”dan apabila mereka bertemu dengan orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya”
Merupakan bentuk kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya. Sebagaimana hadist, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Diantara kebaikan Islam seseorang adalah ia meninggalkan hal-hal yang tidak berguna baginya.” (HR. At Tirmidzi)5
11. Sifat Kesebelas: Ketenangan di dalam Keluarga dan Keturunan yang Shaleh
Firman Allah subhanahu wa ta’ala, ”Dan orang-orang yang berkata, ’Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami ), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Furqan: 74).
Yaitu orang-orang yang meminta kepada Allah untuk dikeluarkan dari tulang sulbi mereka, keturunan mereka yang taat dan hanya beribadah kepada-Nya, yang tidak ada sekutu baginya.
Ibnu ‘Abbas berkata, ”Yaitu orang yang beramal ketaatan kepada Allah hingga menjadi penyejuk mata mereka di dunia dan di akherat.”.
Al Hasan al Basri ditanya tentang ayat ini, lalu beliau menjawab: ”Yaitu Allah memperlihatkan hamba-Nya yang Muslim dari isterinya, saudaranya, dan anaknya dalam ketaatan kepada Allah. Tidak, demi Allah, tidak ada sesuatu yang dapat menyejukkan mata seorang Muslim dibandingkan ia melihat anak yang dilahirkannya dan saudara yang mengasihinya sebagai orang yang taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala.”
Imam Qurthubi menjelaskan makna “Qurrata A’yunin”: Sesungguhnya jika manusia diberi berkah dalam harta dan anaknya, maka matanya menunjukkan kebahagiaan karena keluarga dan kerabatnya, sehingga ketika ia mempunyai seorang istri niscaya berkumpul di dalam dirinya angan-angan kepada istrinya berupa: kecantikan, harga diri, pandangan, dan kewaspadaan, atau jika ia memilki keturunan yang senantiasa menjaga ketaatan dan membantunya dalam menunaikan tugas-tugas agama dan keduniaan serta tidak berpaling kepada suami yang lain, dan tidak pula kepada anak yang lain, sehingga matanya menjadi tenang dan tidak berpaling kepada yang lainnya, maka itulah kebahagiaan mata dan ketenangan jiwa.
12. Sifat Kedua belas: Menuntut ilm u dan Mengharapkanm taufik dari Allah
Firman Allah subhanahu wa ta’ala, ”....dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Furqan: 74).
Ibnu ‘Abbas, al Hasan, as Suddi, Qatadah dan ar Rabi’ bin Anas berkata: ”Yaitu para imam yang ditauladani dalam kebaikan.” Selain mereka berkata: “Para penunjuk yang mendapatkan petunjuk lagi para penyeru kebaikan.” Mereka begitu senang bahwa ibadah mereka bersambung kepada beribadahnya anak-anak dan keturunan mereka serta hidayah yang mereka dapatkan bisa bermanfaat kepada yang lainnya hingga banyaklah pahala dan baiklah tempat kembalinya.
Dalam sebuah hadist bahwa Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berabda, ”Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal: Anak shalih yang mendoakanny, ilmu yang bermanfaat setelahnya, atau shadaqah yang mengalir pahalanya.” (HR. Muslim)
Sehingga merupakan kebahagiaan bagi orang tua yang memiliki anak yang sholeh yang selalu mendoakan kebaikan bagi kedua orang tuanya. Begitu juga sebaliknya doa orangtua kepada anaknya adalah mustajab. Maka hendaknya orang tua memberikan perhatian dan kasih sayang serta penanaman - penanaman nilai -nilai islam yang cukup kepada anak-anaknya sedini mungkin agar kelak putra putrinya nanti tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang beriman dan berakhlak yang baik.
Balasan Bagi yang Memiliki Sifat-Sifat Tersebut
Alangkah mulianya seseorang apabila sifat -sifat yang telah Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan dalam surat Al Furqan tersebut selalu tercermin di dalam kehidupannya sehari-hari. Setelah Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan sifat-sifat Hamba-Nya yang beriman tersebut dengan sifat-sifat yang indah, serta dengan perkataan dan perbuatan yang agung, kemudian dalam surat yang sama Dia berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang dibalas dengan martabat yang tinggi ( dalam surga ) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat didalamnya.” (QS. 25:75)
Mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman. (QS.25:76)
Katakanlah ( kepada orang-orang musyrik): ”Rabbku tidak mengindahkanmu, melainkan kalau ada ibadahmu. (Tetapi bagaimana kamu beribadat kepada-Nya), padahal kamu sungguh telah mendustakan-Nya? Karena itu kelak (adzab) pasti ( menimpamu).” (QS. 25:77).
Mereka adalah orang-orang yang bertakwa yang disifati dengan sifat yang sudah disebutkan sebelumnya (sifat ‘Ibadurrahman), Allah subhanahu wa ta’ala memberikan balasan kepada mereka dengan tempat tertinggi di dalam surga karena kesabaran mereka dalam menjalankan ketaatan kepada-Nya dan menjauhkan diri dari perbuatan maksiat. Mereka mendapatkan di tempat tinggi tersebut penghormatan dan salam dari Rabb mereka, dari para malaikat, dan dari sebagian mereka kepada sebagian yang lain.
Catatan Kaki
1 Lihat Tafsir Ibnu Katsir Juz 6
2 HR. Imam Ahmad dalam kitab Al Musnad: 5/445
3 Lihat Shahih Bukhari kitab Da’awaat, bab Doa Nisfullail, 7/149-150
4 HR. At-Tirmidzi
5 (Shahih li ghoirihi) HR at Tirmidzi no 2318. Syakh Albani berkata: “hadist shahih” Lihat Shahih al Jami’ no 5911
Daftar Rujukan :
1. Shifaatu ‘Ibaadirrahmaan filqur’aanil Karim. Karya Shafwat Jaudat Ahmad.
Judul terjemahan : “Menggapai Sifat ‘Ibadurrahman”: penerbit Insan Kamil, Solo
2. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 6. Penyusun: DR. ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh. Penerbit: Pustaka Imam Asy Syafi’i, Cetakan Ketiga
3. Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtisari Tafsir Ibnu Katsir. Muhammad Nasib ar-Rifa’i: Maktabah Ma’arif Riyadh
Judul Terjemahan: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3. Muhammad Nasib Ar-Rifai: Gema Insani, Depok
4. Bulughul Maram min Adillatil Ahkam. Al -Hafidzh Ibnu Hajar al-Asqalani
Judul Terjemahan: ”Bulughul Maram (Kumpulan Dalil-Dalil Hukum): Penerbit: Pustaka As Sunnah Jakarta
0 comments:
Post a Comment